Dari contoh kasus tersebut, membuktikan bahwa konflik agraria yang terjadi justru banyak timbul dari sengketa antara masyarakat adat melawan korporasi, yang mana justru membuat tergerusnya hak tanah ulayat dari masyarakat adat.Â
Disisi lain Konflik agraria saat ini membuktikan secara nyata, belum tuntasnya dengan segenap program reforma agraria yang dibuat oleh pemerintah, alih-alih program agar bisa mengurangi konflik agraria, justru bertolak belakang dengan realitanya.
Berdasarkan data dari Komnas HAM dalam lima tahun terakhir dari tahun 2015 sampai 2019, lebih dari 30% kasus yang teridentifikasi sebagai konflik agraria dan tercatat sebanyak 9.124 sengketa pertanahan.Â
Dalam polemik agraria ini bahkan lebih sering menggunakan kekerasan dan radikalisme dalam perlawanan masyarakat adat dan petani, kekerasan bahkan menjadi tontonan yang tidak pernah absen dalam pemberitaan berbagai konflik agraria.Â
Beberapa tindakan kekerasan dalam sengketa lahan yang justru melibatkan kekuatan militer dan telah menelan korban. Bahkan yang saat sekarang jadi pemberitaan publik adalah terhadap kasus Efendi Buhing tokoh Komunitas Adat Laman Kinipan yang mana ia ditangkap dengan tuduhan pencurian terhadap PT. Sawit Mandiri Lestari.
Selama ini kita melihat, kebijakan pertanahan di indonesia telah memasuki arah yang kapitalistik, pemerintah hanya melihat dari sudut pandang demi keuntungan semata.Â
Bahkan reclaiming atau penguasaan dan pengambilan lahan kembali, justru sangat menonjol. Pemerintah harus membuat suatu kebijakan yang mana bisa menguntungkan kedua belah pihak, bukan hanya menguntungkan bagi pihak korporasi saja, yang mana ini membuat suatu kecemburuan terhadap masyarakat adat.Â
Oleh karena itu pengambilalihan atau reclaiming oleh pihak lain selayaknya tetap memberikan konsekuensi bagi mereka yang mempertahankan kesejahteraan kolektifnya.
Menakar dari kebijakan pemerintah di bidang pertanahan, akan kita selalu sampai pada kesimpulan atas tindakan pemerintah yang tidak memenuhi keadilan, dalam pengalokasian sumber daya agraria.Â
Ketidakadilan yang dirasakan oleh petani dan masyarakat adat ini lah sebagai pemicu konflik agraria di indonesia. Kebijakan yang secara sengaja telah meminggirkan dan memiskinkan petani pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan negara, yang mana ini telah diamanatkan oleh konstitusi kepada negara untuk melakukan intervensi agar kesejahteraan dan kemakmuran dapat di nikmati oleh seluruh rakyat indonesia.Â
Negara yang tidak mampu melaksanakan kewajiban konstitusi untuk mensejahterakan rakyat tetapi justru tunduk pada kepentingan-kepentingan pemilik modal adalah bentuk kegagalan negara, terlebih negara mengabaikan berbagai konflik agraria, maka akan secara perlahan berdampak pada ekonomi, sosial dan politik.