Sampai di warung kopinya Lek Su, saya sudah melihat  nasi jagung dengan urap daun petai yang dibungkus daun jati  berjejer menghiasi  meja kecil,tempat  yang biasa digunakan olehnya untuk menyajikan kopi para pelanggan.
Mungkin hanya 4-5 menit waktu yang saya gunakan untuk berjalan ke rumah dan buang air kecil, dan ternyata, 4-5 menit itulah yang kemudian menjadi awal penyesalan saya, sebab dalam rentang waktu 4-5 menit itu, si penjual nasi jagung yang sebelumnya saya nantikan sudah lewat dan menaruh daganganya di warung kopi Lek Su.
Penyesalan saya semakin meletup, bukan semata karena si penjual nasi jagung yang saya nantikan itu  sudah lewat namun juga kopi yang sengaja saya sisakan untuk berlama-lama --ewet-ewet-- ternyata sudah dicuci cangkirnya oleh penjualnya.Ekspresi penyesalan saya memuncak  karena saya gagal untuk bertahan bersabar  hanya untuk 4-5 menit saja.
Saya tak menyangka bahwa si penjual nasi jagung yang saya pikir akan menjadi pengiring yang tepat dan menyenangkan untuk momen minum kopi sore itu  ternyata  menjadi ambyar.
Lek Su sendiri  menghidangkan kopi sejak tahun 2007 dan  itu adalah pekerjaan utamanya sebagai penopang kebutuhan hidup keluarga,semenjak ditinggalkan suaminya 4 tahun yang lalu. Dia hidup menjanda dengan satu anak perempuan penyandang difabel dan satu lagi anak lelaki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H