Kian menjadi biru kelabu pada benalu
Tidurlah pada ranjang keduakaanku. Tidur dan nikmatilah sayang. Malam ini adalah aku milikmu. Untuk waktu yang panjang itu. Nikmatilah penuh klimatisasi keindahan itu. Tidur dan leburlah sayang. Bersama aku sang pembawa kenikmatan itu. Jika salah maka katakan sayang. Dan jangan sampai tugasku menjadi salah. Sebagai seseorang yang telah engkau beli dengan merelakanmu untuk bersama denganku. Tetaplah seperti itu. Jadilah kekasihku.
Meremang rindu kian terpatri. Wahai telaga kerinduan yang mengalir lembut pada wajah kekasihku itu. Basahilah kami dengan sejuta rahmatmu. Sesungguhnya, tidak ada yang mampu kami lakukan selain berharap padamu. Wahai engkau pelindung yang diutus. Bergegaslah engkau pada posisi masing-masing. Agar lega hati dan damai pikiran dalam bekerja. Dan tetaplah anggun.
Ada sebuah genangan sisa air hujan sore tadi. Dan ada juga anak-anak yang bermain di sana. Sebuah gelap yang kemudian menghadirkan tanya. Siapa dan bagaimana. Apakah yang kemudian ia inginkan? Betapa ini begitu membingungkan. Anak itu hanya berusaha untuk memberikan sebaik kinerjanya dalam meramaikan arena bermain bagai sekumpulan anak yang berada di lapangan luas.
Hujan bukan halangan, meski menyimpan berjuta kesenjangannya. Tetap ia menjadi bagian yang kemudian mengalir sebagai pembeda dari yang lainnya. Pikirnya, jabatan tertinggi adalah, ketika ia menjadi dirinya sendiri. Dan menari ia di sebuah pola yang di gambar oleh anak-anak lainnya. Dan waktu bergulir. Hingga petang yang menghadirkan sejuta misterinya.
Pola hidup kadang sulit di tebak dan segenggam bunga itu milik siapa? Pertanyaan itu bermula muncul ketika langit menjadi senja dan hari telah sampai pada puncak refleksinya. Dimana dan ke mana, sebuah pertanyaan baru muncul. Ada sabar yang kemudian rancu. Ada juga ketergesaaan yang menghadirkan luka. Siapa dan bagaimana? Ia terus berbisik. Hingga lupa bahwa teh hangat tadi telah mendingin.
Suara yang riuh dan kegelapan yang selalu mengikuti. Mimpi-mimpi seolah dilumat habis tanpa sisa. Ia berbalik arah dan mulai mengerakkan badannya. Belajar kembali cara berjalan. Cara makan dan cara menjadi seorang manusia. Setelah sakit yang diderita sekian bulan. Ia kembali mencoba merefleksi diri pada setiap rentak interaksi keduniawian. Menjadi kelabu pada keterbatasan dan menjadi rumit pada pilihan-pilihan.Â
Kini ia menjadi seseorang yang jika saja ia menginjakkan kakinya pada kedua sendal jepit berwarna hijau. Ia seolah datang dari tempat yang jauh. Dan memasuki wilayah baru dalam hidupnya. Ia membangun segala persepsinya, namun sulit untuk memilih premis pengikatnya. Atau setidaknya, sebagai pelengkap atas ketidakmampuannya.
Bunga-bunga yang layu. Bunga yang jika di peras akan seperti madu. Katanya lambang dari rindu. Dari kekasih yang pemalu. Entah itu sebuah diskusi agak ragu-ragu. Atau sebenarnya terperosok pada jurang benalu. Mungkin perlu waktu. Untuk kemudian mengisi keterasingan rindu. Pada panjangnya kesendirian yang menghadirkan pilu.
Akankah kemudian cinta yang penuh kasih dan sayang dapat bertemu? Setidaknya pada ruang dan waktu yang tidak lagi pernah berlalu. Jika berlalu, biarkan ia tetap menjadi rindu. Dalam dada yang riang selalu. Biarkan juga segala kepekaan itu menjadi padamu. Sungguh hanya kepada engkau. Yang selalu indah dan selalu diharap oleh diri yang kian menjadi biru kelabu pada benalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H