Melihatmu lalu mengajakmu berdansa dibawah hujan yang rintik pada rindunya pelukan senja. Juga pada sang raja yang tidak pulang-pulang dari berburu. Pelukankah yang kemudian mengisyaratkan cinta untuk kita atau hanya secarik kalimat penggugah hati menikmati secangkir kopi tak bergula.
Izinkan Aku Mencicipi Makanan yang Engkau Buat Ketika Pagi Menjelang.
___________
Nona, izinkan aku mencicipi makanan yang engkau buat ketika pagi menjelang. Dan biarkan ia lebur pada ketidak mampuanku dan pada batasanku. Kita adalah mahluk sosial, tidak bisa hidup sendiri. Selalu butuh yang lainnya, setidaknya kita punya teman atau ada cinta serta tuhan di hati kita.
Dan biarkan putik Bermadu dan putik lainnya dicumbu pejantan lebah-lebah. Biarkan kemudian bibit-bibit yang baru tumbuh meranting dan mendaun. Hingga kelak mereka bisa menaungi seorang musafir yang sempat melewatinya. Meneduhkan tubuh yang sedang gerah dan basah akan keringat. Serta tuliskan surat untukku lagi. Aku menunggumu.
Kemarin lalu saat malam yang sunyi dan aku menuduhmu telah menghilangkan beberapa kertas yang aku taruh di rak meja. Tempatku dulu belajar dan menulis. Meski tidak lagi menulis, aku masih ingin kertas-kertas itu ada di sana. Aku lupa berapa, makanya aku menuduhmu. Kupikir, engkau tidak begitu suka padaku saat terlalu asyik dengan imajinasi dan tulisan-tulisanku saja dan tidak begitu memerhatikanmu. Tidak demikian, aku hanya suka lupa waktu dan mungkin saja kamu benar sayang. Aku minta maaf untuk itu.
Lalu suatu saat di masa lalu ketika pertama bertemu denganmu. Engkau begitu malu menatap mataku. Pipimu sedikit memerah, indah dan sangat manis. Engkau sedikit gugup ketika tersenyum melewatiku. Sambil salam engkau berlalu. Tahukah engkau tentang itu.
 Tentang aku yang saat itu juga hampir sama denganmu, karena merasakan hal yang sama. Aku hanya sedikit belajar berbohong untuk hal-hal ini. Aku selalu belajar berbohong pada diriku sendiri. Menurutku itu sedikit banyaknya membantuku untuk tetap tabah padamu, pada rindu dan perasaan-perasaan lainnya padamu. Aku tidak ingin lemah saja di depanmu. Untuk bisa kemudian menjadi seorang lelaki yang mampu engkau andalkan wanitaku.
Detik jam berlalu. Dan engkau menjadi secercah harapan bagiku. Untuk aku kembali menemukan sesuatu yang bisa saja akan mengantarkan aku pada kebahagiaan. Karena aku hanya lelaki, lelaki yang manusia. Kata guruku saat di bangku sekolah menengah atas, manusia itu mahluk sosial. Selalu butuh selain dirinya untuk menjalani hidupnya. Dan juga pendidikan agama juga mengajarkan kita untuk tetap membangun hubungan antar manusia. Silaturahim kalau aku tiadak salah ingat. Dan sedikit ragu seperti merasuk kedalam kesadaranku tentang bagaimana cara mengajukan sebuah pertanyaan.
 Yang jika saja aku mendapatkan jawaban yang tidak sesuai harapanku, aku bisa saja kecewa. Entah bagaimana mengajukan sebuah ajakan padamu, yang jika saja aku melakukannya dengan begitu tergesah. Bisa saja aku menemukan kegelisahan lainnya lagi. Seperti tentang sebuah cerita yang baru aku dengar lagi dari seseoarang. Kisah yang baru saja aku tonton di sebuah laman internet. Sebuah kisah yang sedikit menyentak kesadaran hatiku. Aku seperti terpikir begitu dalam bahkan menyeruak perasaan-perasaan yang begitu rumit aku pahami.
 Kisah itu, aku juga tidak begitu ingin begitu saja menjadikannya sesuatu yang mungkin harus aku ambil begitu saja, lalu aku benarkan maupun aku salahkan saja. Aku ingin belajar dan menimbangnya sejenak dengan sedikit menarik sisi yang lainnya serta beberapa kemungkinan lainnya, seperti bisa saja peristiwa yang terurai lembut pada kisah itu dapat memberikan sebuah nilai bagiku untuk tetap berkembang ke arah yang aku harapakan akan bisa menjagaku pada rentak gerak langkah yang telah aku pilih.
Maka, izinkan aku mencicipi makanan yang engkau buat ketika pagi menjelang Nona.
Kediri, 13 November 2020
Buah Karya: Le Putra Marsyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H