Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Seniman - Belajar menulis

Mencoba belajar dengan hati-hati, seorang yang berkecimpung di beberapa seni, Tari (kuda lumping), tetaer, sastra.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tak Perlu Ragu untuk Melangkah

6 November 2020   18:38 Diperbarui: 6 November 2020   18:51 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendekatlah
Sudah terlalu lama
Kita terjajah oleh rasa
Kita ditindas oleh kemauan
Ingin segera bersatu dalam kedamaian

Adalah kedamain sebagai orang merdeka
Yang hidup saling bahu-membahu
Jelajahi jalan setapak berliku
Kemudian kita berkata
Tak ingin lagi terlena
Oleh sederet kuasa
Apalagi, setumpuk janji
Menghiasi hari menari jemari
_______________
Bunyi genderang perselisihan mewarnai jalan rindu yang sering memanggil. Tubuh menggigil di hari yang terlalu renta. Peristiwa datang sili berganti tak pernah usai selama nafas masih berdamai dengan raga. Kita masih terjebak pada kekerasan dan penindasan batin yang sulit disembuhkan.

 Hingga, jalan terang masih terus kita cari demi memperbaiki segala yang salah. Dan, merubah perlahan-lahan setiap luka yang masih melekat. Kitalah pasang mata yang tak pernah rabun menatap. Kita adalah penyatuan raga yang selalu berusaha tanpa mudah menyerah.

Kemarau panjang masih berkuasa. Hujan ditunggu tak pernah mengguyur tubuh. Padahal, kekeringan sedang melanda raga untuk disetubuhi dengan siraman air penyejuk. Nyatanya, harapan terlambat tiba membuktikan dirinya. Rindu memelukmu sering kali terjawab.

 Kekosongan ruang kekurangan selalu terpenuhi. Tapi, kita masih berseteru dengan sebuah masa yang sulit dilupakan. Dan, pada jebakan tali-temali amarah kita sulit berdamai. Sampai, budaya diam berdiri sebagai hakim untuk sementara waktu. Biar, kita tak terpancing untuk memilih jalan masing-masing.

Sebuah usaha yang saling memberi percaya, terkadang kelalaian lebih cepat melangkah menyembunyikan rahasia. Hingga, kecurigaan terus bermunculan mewarnai pikiran jernih. Detak jantung patokan bahasa hati selalu menangkap basah perbuatan. Dan, aku sulit mengelak untuk berkata yang bukan sebenarnya.

Karena kaulah takdir semesta yang diutus hadir untuk merawat tubuh. Peranmu ditakdirkan Tuhan untuk saling menguatkan. Dan, aku sering kali terjebak pada jalan perawatan kasih dan lorong kemesraan rasa yang tak membuat tersesat.

Jalan setapak berliku selalu kita hadapi. Berjuta-juta hinaan dengan tabah dibendung tanpa membalas tamparan. Karena, terkadang hinaan tak perlu direspon. Sorot mata dendam dan ketidaksukaan, harus dengan tabah kita layangkan senyuman.

Biar, hati lapang tak dilekati oleh dendam. Pikiran berlian tak mudah terpancing oleh sebuah persepsi yang remeh-temeh. Sebab, jalan kita terus melaju ke depan. Kita tak perlu mundur untuk berpaling. Karena aku tetap setia bberada di sampingmu. Dengan putih kesucian perkataan aku tetap menjagamu. Lewat keberanian dan kebenaran, aku ingin selalu berada dalam pelukanmu di bawah tiang kesepakatan pusaka.

Kita tak perlu lagi ragu-ragu untuk melangkah. Pencarian panjang menemukan kedamaian rasa, kini sedang memegang erat jemari. Aku tak akan mau tersesat lagi yang ke sekian kali. Sampai, membuat tubuh terjatuh ke dalam lubang derita. Dan, tak bisa bangkit untuk melawan lajunya cobaan yang sering kali tumbuh.

Maka, jadilah pohon harapan yang mampu melindungi diri dari segala macam sengatan. Buatlah kedamaian, agar kita selalu teduh dengan ragam keadaan.
Kaulah ibu peradaban yang kelak akan merawat generasi. Didikan dan peranmu akan mengurangi kesombongan.

 Kelembutan belaianmu akan menjadi kiblat setiap yang bernyawa. Maka, bentangkanlah darah dan keringatmumemberi penunjuk jalan peradaban. Jadikanlah segala ceritamu sebagai penyemangat yang tak pernah membuat jenuh.

Dekatkanlah tubuh kesabaranmu di sisiku. Jangan pernah bosan mengarahkan ajaran kebaikan. Mari menanam kata dan perbuatan sebagai contoh yang perlu diikuti. Lepaskanlah belenggu jeruji yang sering kali mengikat kita dengan dendam. Sudah saatnya, lembar baru harus kita tulis dengan tinta harapan. Daun penaku tak akan pudar meracik inspirasi.

Karena kaulah sumbu kata-kata kelembutan. Bisikanmu adalah bahasa terindah di bagian akhir catatan berlanjut. Aku menunggumu di sini untuk tetap seiring sejalan merawat asa dan rasa.

Kediri, 06 November 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun