Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Seniman - Belajar menulis

Mencoba belajar dengan hati-hati, seorang yang berkecimpung di beberapa seni, Tari (kuda lumping), tetaer, sastra.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Malam Itu, adalah Sejatinya Sajakku

21 Oktober 2020   19:00 Diperbarui: 21 Oktober 2020   19:02 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam Itu, Adalah Sejatinya Sajakku
_______________________
Seperti biasa, sunyi adalah kekasihku. Di mana bising tak menawarkan ladang sorga, di mana tubuh bersemayam mencari kepastian. Percakapan dengan sang Ayah di mulai ketika denging hari memantiki keluh kesah.

"Ayah. Mereka punya segala untuk mentamengi diri, mereka punya segala untuk memayungi bayangan diri. Kita orang hanya bisa diam, takluk dan gampang diperdaya." Ujarku dengan ritme yang tak berdaya.

Mungkin karena masih polos dan mulai sedikit menyukai perlawanan terhadap penguasa-penguasa otoriter.
Cepat tangkas, Beliau menyergap ujung desahan keluhku

"Oh tidak Putraku. Kita mungkin rakyat biasa tapi jangan buru-buru menaruh prasangka bahwa kita orang gampang diperdaya. Mereka mungkin punya bala tapi Kita orang punya kata-kata. Kata-kata adalah senjata. mampu merenteti setiap keangkuhan yang dipangku mesra oleh mereka di atas sana"

Aku sesekali masih ragu. Gigil merangkang sunyi, malam perlahan menguning. Ayah melanjutkan pijak pemikirannya.

"Kau pilih yang mana. Antara dicerca atau dipukul? Andai pertanyaan ini kau lontarkan ke pada Ayah, maka jawabannya hanya satu.

Aku lebih memilih dipukul sebab sakitnya hanya nyenyak sebentar dari pada dicerca yang selalu tercatat dalam ingat, merusak ketentraman nurani hingga pada Jibril menunaikan hasrat"

Sejenak merebahkan kalimat demi kalimatnya. Kemudian setelah menghisap lisong pada ujung bibirnya yang kentara rentah, kembali beliau berujar.

"Putraku. Jika kata-kata sekejam, sedurjana itu dan sesakit itu, maka yang kau acungkan keluh hanya peluh. Sesaat lenyap setelah sederhananya kopi hangat menanggalkan segala penat. Putraku!

Dirajam dengan senjata, tidak sama sekali menyakitkan. Yang menyakitkan adalah dihujani dengan bibir yang melumat aksara pun kata-kata yang menyala."

"Lalu apa senjata kita Ayah?" Tanyaku selalu ingin tahu dan lagi-lagi dengan wajah polos. Yang hanya semata ingin tahu cara mengubur kebobrokan yang jorok.

"Senjata kita adalah hati, senjata kita adalah gelora semangat, senjata kita adalah kata-kata. Setapak demi setapak dalam bab-bab juang. ketuk hati mereka, jadikan kata-kata seolah menjelma jadi penjara paling pengap. menderma jera di atas bantal pengantar mimpi-mimpi penuh gemetar.

Mereka boleh punya senjata berkelas. tapi kita orang punya adalah sihir yang sanggup mengobrak-abrik mulusnya senyum mereka. Kita juga punya segala, Putraku!."

Ayah mengakhirinya dengan senyum paling menyala

Kediri,
Le Putra Marsyah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun