Mohon tunggu...
abdasis
abdasis Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sholat adalah salah satu kunci kesuksesan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketimpangan Gender Dalam Pertumbuhan Ekonomi

1 Desember 2023   21:07 Diperbarui: 1 Desember 2023   21:13 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut kajian Agnes Vera Yanti Citrus, Konsep gender tidak mengacu pada perbedaan biologis, tetapi pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh lingkungan sosial-budaya, ekonomi dan politik. Kesetaraan berarti hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Kondisinya sama. , memastikan kondisi dan kesempatan yang sama untuk mewujudkan hak asasi manusia dan kemajuan nasional, ekonomi, budaya, politik dan sosial.

Keadilan dan kesetaraan gender dapat diidentifikasi melalui absennya diskriminasi antara pria dan wanita dalam hal akses, partisipasi, dan pengelolaan pembangunan, serta dalam pencapaian manfaat pembangunan yang merata dan adil (Hubies, 2010).

Di era globalisasi, isu kesetaraan gender menjadi penting dalam konteks kerjasama antara pria dan Wanita di segala aspek. Keadilan dan kesetaraan gender adalah salah satu dari delapan tujuan global yang disepakati oleh negara-negara di seluruh dunia sebagai bagian dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Pemerintah Indonesia berkomitmen terhadap keadilan dan kesetaraan, dan INPRES #1 adalah buktinya. September 2000 Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan kesetaraan gender ke dalam pembangunan nasional.Pedoman ini diberikan kepada seluruh aparatur pemerintah negara bagian termasuk gubernur dan gubernur/wali kota untuk melakukan PUG di wilayah Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian  Berti Kumalasar, Tin Herawat dan Megawati Simanjuntak, kondisi kesejahteraan  dan kemiskinan yang buruk menunjukkan ketidakberdayaan keluarga dalam menghadapi dan beradaptasi dengan lingkungan sehingga dapat menimbulkan tekanan finansial pada keluarga (Sunarti et al., 2013 ) . ). Stres finansial merupakan persepsi keluarga terhadap ketidakcukupan finansial yang menghambat terpenuhinya kebutuhan, menyebabkan stres dan mengurangi taraf hidup (Robila dan Krishnakumar, 2005). Untuk mengatasi tekanan keuangan, rumah tangga perlu meningkatkan manajemen keuangan dan strategi mata pencaharian mereka untuk bertahan hidup dan mempertahankan mata pencaharian mereka (Suarti et al., 2005; Fofana, 2009). 

Dengan begitu, penghasilan Anda tidak akan-dan akan tersedia saat Anda membutuhkannya. Nugraheni (2012) menyatakan bahwa gender mempengaruhi pendapatan dan karena kurangnya kebutuhan dasar, perempuan harus menyelesaikan masalah ini melalui pekerjaan dan perempuan memiliki tanggung jawab ganda. Widiyanto, Suwarto, dan Retno (2010) menyimpulkan bahwa peran perempuan dalam memenuhi kebutuhan keluarga adalah menggunakan sumber daya pribadi keluarga untuk kemandirian, yaitu untuk mempertahankan pola kehidupan keluarga yang harmonis. Wanita harus peka terhadap pria.

Jurnal  penelitian besar Elma Aktaria dan Budiono Sri Handko menyatakan bahwa dalam laporannya tentang pembangunan manusia, United Nations Development Program (UNDP) menyatakan  bahwa salah satu faktor penting bagi pembangunan individu adalah pembangunan ekonomi, dan Ia menyatakan bahwa hal itu adalah untuk didistribusikan secara merata dan antar kelompok etnis. Antara laki-laki dan perempuan, antar generasi, dan antar daerah.Salah satu komitmen global yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) adalah mencapai kemajuan signifikan dalam pengentasan kemiskinan.

 Untuk mengukur pembangunan gender sebagai salah satu aspek pembangunan manusia, UNDP menciptakan Indeks Pembangunan Gender  (GDI) dan Pengukuran Pemberdayaan Gender (GEM). Hal ini pertama kali diperkenalkan pada Laporan Pembangunan Manusia tahun 1995. Namun, indikator-indikator ini mempunyai beberapa kelemahan dalam menjelaskan pembangunan dan kesenjangan. Gender di seluruh dunia. Oleh karena itu, UNDP mengembangkan Indeks Ketimpangan Gender  (GII) yang diperkenalkan pada Laporan Pembangunan Manusia tahun 2010. GII adalah alat pengukuran kuantitatif yang memperhitungkan kerugian  perempuan dalam tiga dimensi: reproduksi, kesehatan, lapangan kerja, dan sumber daya.[1]

Realitas yang diteliti oleh Mujahidah menunjukkan adanya perubahan kesadaraan gender. Sejak tahun 1980-an hingga saat ini, isu gender telah menarik banyak perhatian dari berbagai kalangan, bahkan telah menjadi arus utama yang berdampak signifikan terhadap transformasi sosial masyarakat. Isu gender telah merambah setiap bidang sudut pandang dan kehidupan dengan menjadikan "perempuan" sebagai subjek pembahasan. Sedangkan fokus utamanya adalah kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Konflik antara dua sudut pandang yang berbeda tidak bisa dihindari. Topik ini dengan segala kompleksitasnya telah menjadi  topik perbincangan yang sangat menarik di kalangan intelektual dunia. Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan yang diadakan di Beijing pada tahun 1995 dan Konferensi Durban 2001 tentang Diskriminasi Gender menyerukan diakhirinya ajaran agama yang merendahkan perempuan.

 

Menurut Irwan Abdullah, konstruksi sosial adalah cara menjelaskan fenomena sosial dengan melihat  hasil interaksi sosial yang sebenarnya.

 

 Menurut perspektif ini, Konstruksionisme sosial menekankan bagaimana seseorang memahami dan menafsirkan situasi dan pengalaman tertentu melalui tindakan sosial (Abdullah, 1995: -23; Abdullah, 2001; Lorber dan Farrell, 1991). Orang dan masyarakat saling mempengaruhi melalui proses dialektika. Sebagai makhluk pencari makna, manusia memperoleh makna dari kehidupan melalui proses dialektis yang terdiri dari tiga tahap: eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi kimia (Berger dan Lackman, 1990: 3-5).

 

Berdasarkan hasil penelitian Siti Nurul Khaeran, upaya menciptakan kesetaraan dan keadilan gender  penting untuk meningkatkan kesadaran global terhadap perlindungan hak asasi manusia. Kesadaran ini mendorong lahirnya berbagai konvensi yang melindungi hak asasi perempuan. Beberapa konvensi yang menjamin  keadilan antara pria dan wanita di berbagai bidang adalah: Konvensi Non-Diskriminasi di Tempat Kerja (1951), Konvensi Hak Pilih Perempuan dalam Politik (1953), Konvensi Status Perempuan (1957), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi (1960). ), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi (1960), Konvensi Perkawinan, Usia Minimum dan Pendaftaran Perkawinan (1962) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979). Selain itu, Konferensi Hak Asasi Manusia PBB di Wina pada tahun 1993 mengakui hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama dihormati sebagai individu dan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama.

 

Yasinta Agatha Cahya melakukan penelitian berdasarkan teori sosialisasi gender  Betz tahun 1989 dalam Astasar (2018). Teori ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam perkembangan moral pria dan wanita dan nilai-nilai yang mereka bawa ke tempat kerja. Pria dan wanita mempunyai nilai, perilaku, dan sikap etis yang berbeda. Mereka juga menggambarkan diri mereka sebagai kombinasi  seimbang dari sifat-sifat bijaksana. Karakteristik feminis perempuan (seperti penuh gairah, lembut, emosional, patuh, sentimental, pengertian, penyayang, sensitif dan bergantung)). Ciri-ciri maskulin bersifat maskulin (terdokumentasi, berani, agresif, tegas, berwibawa, analitis, kompetitif dan mandiri). Dan netral gender (beradaptasi, cerdas, ikhlas, peduli, empati, dapat diandalkan, konsisten, sistematis dan efisien).

Berdasarkan penelitian Nissya Andrea Ningsih, terdapat beberapa kajian yang berupaya memaparkan elemen yang mempengaruhi literasi keuangan. Menurut penelitian American Economic Association dan The Economist (Caplan, 2004), tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap literasi keuangan, artinya semakin tinggi tingkat edukasi seseorang  maka semakin tinggi pula literasi keuangannya. . Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa literasi keuangan kelompok pria  lebih tinggi dibanding kelompok wanita. Selanjutnya penelitian  Purwanto (2015) menunjukkan bahwa outcome pendidikan keuangan mempunyai pengaruh yang relefan terhadap literasi finansial. Selain itu, Yasmin dkk. (2014) menjelaskan bahwa gender berhubungan dengan literasi keuangan siswa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun