Â
BPS mendefinisikan sektor informal sebagai usaha yang berasal dari sektor rumah tangga atau usaha rumah tangga dan tidak berbadan hukum. Bisnis rumah tangga ini tidak memiliki unit hukum dan akuntansi yang independen dari anggaran rumah tangga (Trade Union Rights Center; 2020). Pernyataan BPS ini sejalan dengan Center for Trade Union Rights dan Nazara yang mengidentifikasi sektor informal berdasarkan pelaku ekonominya: rumah tangga yang usahanya tidak berbadan hukum. Dahlan (2020) menyebut sektor informal sebagai istilah lain dari shadow economy. Ekonomi bayangan mencakup pendapatan yang tidak diumumkan dan aktivitas ilegal seperti penyelundupan, pencurian, narkoba, perjudian, dan prostitusi.
Â
Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa kegiatan ekonomi mencakup pekerja mandiri, pekerja mandiri tidak berbayar dengan dukungan keluarga atau keluarga, pegawai, pekerja musiman di sektor pertanian, pekerja musiman di sektor non pertanian, dan pekerja tidak berbayar. 4.444 Kegiatan di Sektor Informal (Almanshah & Sukhamdi, 2021).[6]
Â
Penelitian Edvin Nur Febrianto menguraikan bahwa Porta dan Shleifer (2008) menjabarkan tiga sudut pandang terhadap sektor informal. Pertama, sektor informal merupakan respon dari ketidakmerataan hak atas kepemilikan properti serta akibat dari ketidakadilan peraturan dan hukum. Kedua, sektor informal adalah salah satu bentuk upaya untuk menghindari pajak. Pada perpektif ini, sektor informal dianggap mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena peningkatan sektor informal dapat menurunkan penerimaan pajak negara sehingga pengeluaran pemerintah akan menurun. Ketiga, sektor formal dan informal independen satu sama lain dimana masing-masing mempunyai produsen dan konsumen yang bekerja dengan mekanisme yang berbeda sehingga perubahan pada sektor formal (misalnya dalam hal pajak) tidak berpengaruh terhadap sektor informal. Pada perspektif tersebut, sektor informal merupakan arena untuk penduduk miskin sehingga akan berkurang atau bahkan menghilang seiring dengan perbaikan perekonomian.[7]
Berdasarkan hasil kajian Nora Camelia dan Jaka Nugraha, banyak aktivis ekonomi jalanan yang berada di sektor informal. Mereka menawarkan ragam produk seperti makanan dan minuman yang spesialnya adalah kerupuk khas Madura, kerajinan tangan dan batik tulis yang menjadi andalan Madura. . Tidak hanya warga Kecamatan Labang, sektor informal juga melibatkan masyarakat desa seperti Krampis dan Sampan. Pendapatan sektor informal tidak sebanding dengan pendapatan sektor formal yang lebih tinggi. Kondisi perekonomian menyebabkan sektor informal menjadi pilihan bagi banyak orang yang sulit mendapat pekerjaan di sektor formal. Dengan demikian, sektor informal tumbuh secara mandiri. Permasalahan kemiskinan dan pengangguran sangat berkaitan dengan keberadaan sektor informal. Mengingat pentingnya sektor informal, banyak orang yang memanfaatkannya untuk membuka usaha sendiri. Selain itu, sektor informal juga berperan dalam menampung tenaga kerja yang belum bekerja atau menganggur di daerah Laban.[1]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H