Pancasila merupakan sesuatu yang keramat bagi bangsa Indonesia sejak pada masa awal kemerdekaan sampai saat ini. Sebagai dasar negara, Pancasila adalah bentuk kontrak sosial dari masyarakat Indonesia dalam membangun sebuah negara merdeka, terlepas dari segala bentuk penjajahan. Multikulturalisme dan segala perbedaan yang ada di dalam bangsa Indonesia, diikat dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kedamaian, keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras maupun agama pun menjadi tujuan dari dijadikannya Pancasila sebagai falsafah dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh para founding fathers negara Indonesia.
Betapa pentingnya Pancasila bagi kehidupan Bangsa Indonesia tak jarang menimbulkan berbagai macam diskusi atau bahkan perbebatan antar sesama masyarakat Indonesia. Dari yang profesinya sebagai tukang becak hingga para pemangku jabatan di pemerintahan. Mulai dari perdebatan tentang kapan Pancasila itu lahir, tanggal 1 Juni ataukah 18 Agustus, sampai perdebatan mengenai perbedaan penafsiran dan implementasi dari tiap-tiap sila Pancasila itu sendiri.Â
Hampir-hampir Pancasila tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia di semua elemen. Data statistik membuktikan bahwa sejak tahun 2013 sampai dengan pertengahan tahun 2017, perbincangan mengenai Pancasila selalu mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2013 sekitar 408 kali kata pancasila diperbincangkan, kemudian tahun 2014 dan 2015 naik menjadi 491 kali, tahun 2016 naik menjadi 631 kali hingga pertengahan tahun 2017 yang sudah mencapai 454 kali (Kompas, 14 Juni 2017).
Perbincangan tentang Pancasila yang saat ini begitu populer di masyarakat, tidak dapat terlepas dari isu-isu yang memiliki dampak krusial terhadap stabilitas keamanan sosial-politik dan sedang marak menyebar di masyarakat, seperti kasus penistaan agama oleh Ahok, pemboman gereja saat perayaan hari besar umat kristen, hingga wacana sebagian kelompok masyarakat yang mengharapkan sistem khilafah berlaku di Indonesia. Permasalahan ini dipandang serius oleh pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2017 yang menjadi payung hukum dari pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).Â
Pemerintah mengklaim bahwa perlu adanya unit tersebut sebagai upaya pribumisasi Pancasila dan menghilangkan kesan pemaknaan Pancasila seperti saat era orde baru. Dengan adanya pribumisasi Pancasila tersebut, dampaknya diharapkan setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah tetap bernafaskan pada nilai-nilai Pancasila. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah sudah tepatkah pemerintah membentuk UKP-PIP sebagai upaya memaknai ulang Pancasila ?
Menurut penuturan Yudi Latief selaku ketua UKP-PIP, unit ini dibentuk sebagai dapur sinkronisasi berbagai program/kebijakan pemerintah di sejumlah kementerian supaya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Unit ini pun strukturnya kecil, tidak sampai dibentuk hingga tingkat desa seperti BP7 saat era orde baru. Dari penjelasan tersebut, ada hal yang mengganjal. Dalam hal pemaknaan Pancasila, UKP-PIP disebutkan hanya sebagai dapur sinkronisasi program kebijakan pemerintah. Lantas pemaknaan seperti apa yang akan disinkronkan dalam kebijakan pemerintah tersebut? Pemaknaan seperti yang dikehendaki negara atau kah masyarakat? Hal ini terkesan malah akan mempersempit ruang untuk menafsirkan Pancasila itu sendiri.
Struktur UKP-PIP yang kecil dan tidak ada di tingkat desa juga patut dikritisi. Jika berkaca pada BP7 saat masa orde baru, secara struktur memang dibentuk hingga ke tingkat desa. Hal itu di satu sisi dapat mendekatkan Pemerintah dengan masyarakat terkait dengan kemungkinan berdialog mengenai penafsiran Pancasila.Â
Tetapi disisi lain, akan menjadi indoktrinasi jika pemerintah tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk berdiskusi mengenai Pancasila dan kasus inilah yang terjadi saat era orde baru. UKP-PIP yang tujuannya untuk sinkronisasi kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, lalu bagaimana nilai-nilai Pancasila itu dapat tersampaikan kepada masyarakat dengan baik jika tidak mengakar? mengingat saat ini era otonomi daerah sedang berkembang pesat. Bahkan, posisi pemerintahan desa pun semakin diperkuat kedudukannya dalam struktur pemerintahan saat ini. Permasalahannya bukan pada pembentukan unit hingga ke tingkat desa, tetapi bagaimana UKP-PIP ini menjadi wadah yang dapat menampung dialog pemerintah dan masyarakat tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Sekali lagi ada hal yang perlu menjadi catatan dalam pembentukan UKP-PIP ini. Dari beberapa orang yang dilantik presiden menjadi dewan pengarah UKP-PIP, masih ada orang-orang yang memiliki latar belakang militer, yaitu Mayjend (Purn) Wisnu Bawa tenaya dan Jendral (Purn) Try Sutrisno. Jika menilik sejarah Indonesia pada masa setelah kemerdekaan khususnya tahun 1950 sampai dengan era orde baru, seperti yang dikemukakan oleh Max Lane bahwa militer/angkatan darat memiliki peran sentral dalam usaha indoktrinasi Pancasila sesuai dengan tafsiran negara saat era orde baru.Â
Bahkan Jendral Murtopo, tangan kanan Soeharto, secara sistematis menghilangkan radikalisasi massa rakyat dalam usaha revolusi nasional yang digagas oleh Presiden Soekarno, termasuk dalam hal pemaknaan Pancasila. Berkaca pada sejarah tersebut, pemerintah tinggal memilih, apakah UKP-PIP ini akan diarahkan untuk lebih condong ke arah orde baru atau dijadikan wadah untuk melakukan dialog dengan masyarakat Indonesia mengenai Pancasila. Hal itu akan terjawab seiring berjalannya waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H