Dalam rumah, terdengar suara tegur,
Ayah Fikra meminta, hentikan perguruan.
Di usia enam, Fikra muda bertarung,
Bersama abang, tonton TV terang.
Panasnya siang, musim kemarau datang,
Fikra berpostur gendut, cerewet berkicau.
Kipas berputar, dingin di udara,
Kata-kata kasar, mulai terurai.
"Kamu cerewet," abang menyindir tawa,
Fikra menahan, emosi terlalu berat.
Abang tertawa, kata kasar terpampang,
Pukulan terjadi, diiringi candaan tragis.
Ayah mendengar, suara perang di ruang,
Marah menyapa, "Berhenti, jangan berantam!"
Ancaman diucapkan, luar akan kurungan,
Fikra menangis, tak tahan akan celaan.
Ibu tiba, membawa kedamaian suara,
Jangan terlalu kasar, anakmu terluka.
Ayah mendengar, lembut kata ibu,
Tak jadi kurungan, damai terucap.
Meminta maaf, Fikra dan sang abang,
Ayah memaafkan, peluk erat keharmonisan.
Puisi tentang keluarga, cerita penyatuan,
Dalam canda dan air mata, kasih terurai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H