“Jagalah Syam! Sesungguhnya ia salah satu negeri pilihan Allah. Dia memilih Syam karena banyak [di negeri tersebut] hamba-hamba pilihan-Nya.”
Kemuliaan. Kebaikan. Peradaban. Semua itu barangkali akan hangus di Suriah. Tidak ada yang tersisa. Tinggal nama. Cuma ada dalam sejarah. Dan kita semua akan menguburnya bersama anyir darah dan residu bom serta mesiu. Kita akan mengenangnya dalam lanskap kotanya yang kelabu dan suram. Kita tidak akan menemukan jejak historis Islam yang berwarna emas. Semua jelaga. Kita tidak akan mendapati negeri yang dipanggil Nabi dengan Syam itu sebagai bumi pilihan Allah lagi. Bukankah baginda Rasulullah saw jauh-jauh hari berpesan untuk menjaga negeri itu?
Mari kita tengok sebuah hadits yang termaktub dalam Kitab Sunan Abi Daud. “’Alaika bissyami, fainnaha khiiratullahi min ardhihi, yajtabi ilaiha khiratahu min ‘ibadihi…” [Jagalah Syam! Sesungguhnya ia salah satu negeri pilihan Allah. Dia memilih Syam karena banyak [di negeri tersebut] hamba-hamba pilihan-Nya.] [HR. Abu Daud]
Betul, Syam masa lalu bukan seperti sekarang ini. Secara geografis, dulu, ia adalah paduan Palestina, Lebanon, Suriah, dan Yordania, dimana Damaskus sebagai ibukotanya. Negerinya makmur. Tanahnya subur. Pemeluk tiga agama samawi [Yahudi, Nasrani dan Islam] pun pernah hidup dan menjahit persaudaraan dengan indah di sana. Namun, keserakahan dan kekuasaan memecahnya serupa selendang sutra yang koyak. Tercerai berai, baik karena buah imperialisme Barat, maupun karena friksi internal di dalamnya.
Palestina, anda tentunya mafhum, terus bergejolak dengan Israel hingga kini. Pun dengan Lebanon. Dan tiga tahun belakangan ini [sejak 2011], Suriah menyusul. Kabar tentangnya begitu riuh dan memilukan di pelbagai media, baik nasional maupun internasional. Semua karena faktor nafsu dan kekuasaan; unsur-unsur yang membutakan manusia untuk hidup beradab dan berperadaban. Tentu saja, yang bersorak sorai kegirangan adalah mereka yang senang bila umat Islam di Suriah pecah belah, warga muslim yang barangkali juga masygul membela siapa dan harus berada di sayap mana.
Mirisnya: korban yang meninggal dan menderita terbanyak adalah kaum hawa dan anak-anak tidak berdosa. Darah. Luka. Lapar. Air mata. Semua sudah begitu akrab di Suriah. Tak aneh, bila ratusan ribu warga Suriah mengungsi ke negeri-negeri lain mencari suaka.
Syam..Suriah, negeri para Nabi, negeri para ulama, negeri orang-orang shaleh yang dimuliakan Allah dan dipuja-puji Nabi itu kini menuju titik nadir kehancuran. Saya khawatir negeri itu akan berdampak seperti Irak yang jejak-jejak peradabanya porak-poranda dan kita tidak sempat menziarahinya dan mentadaburrinya. Saya khawatir kita semua hanya kelak menemukan Suriah yang aduhai indah dan berperadaban itu melalui kisah semata. Kita tidak sempat menyaksikannya.
Kita hanya menghela nafas sesal saat membaca hadits tentangnya: “Kebaikan [ada] pada negeri Syam. Kami bertanya, 'Mengapa, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Karena malaikat rahmat(pembawa kebaikan) mengembangkan sayap di atasnya.” [HR. Tirmizi].
Entahlah. Apakah kini malaikat masih menaungi Suriah yang masih mencekam itu? Apakah rahmat Allah masih menyelimuti negerinya? Kita hanya bisa menyaksikan dalam iman yang paling lemah: berdoa. Semoga doa saya, doa Anda, doa kita semua didengar-Nya, dan Suriah pulih kembali. Amin. Wallahu’alambisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H