Menulis adalah tantangan kesabaran untuk melahirkan sebuah karya. Ada banyak sekali yang kita alami saat menulis. Melawan rasa malas, susahnya mengatur waktu dan kesibukan yang padat sehingga membuat kita susah meluangkan waktu untuk menulis. Bukan itu saja, Writers block adalah satu penyakit yang kadang datang tanpa permisi.Â
Malam ini pertemuan ke-7, gelombang-28 di grup whatsapp KBMN PGRI. Sebuah kesempatan belajar bagi saya bagaimana mencari solusi disaat WB datang di keseharian kita. Malam ini kita kedatangan narasumber hebat dengan segudang karya dan prestasinya. Ibu Ditta Widya Utami,S.Pd.,Gr. merupakan narasumber hebat yang akan berbagi pengalamannya dalam menulis. Moderator, Raliyanti, S. Sos.,M.Pd. (Senin, 23 Januari 2023).Â
Mengawali kelas Bu Ditta memperkenalkan diri.Â
"izinkan saya di malam ini berbagi tentang pengalaman menulis saya yg nantinya insya Allah berkaitan dengan tema."
Ibu dan Bapak hebat, Perkenalkan nama saya *Ditta Widya Utami*. Saya juga alumni kelas menulis yg kini bernama KBMN. Tepatnya alumni Gelombang Ke-7.
Siapa pun yang ingin menjadi penulis andal, maka harus siap dengan prosesnya.
Tak bisa instan tentu. Diperlukan jam terbang yang cukup banyak agar bisa menjadi seperti Omjay, Bunda Kanjeng, Pak Dail, Bunda Aam, Bu Rali, Mr. Bams, Prof. Eko, dan lainnya yang tak bisa saya sebut satu per satu.
Ibu dan Bapak hebat dimana pun Anda berada, kita yang tergabung dalam grup ini tentu sepakat bahwa *menulis* memiliki banyak manfaat (disadari/tidak).
Ada yang menulis karena hobi, kebutuhan, tuntutan profesi, dan lain sebagainya. Apa pun alasannya, aktivitas menulis memang tak bisa lepas dari kita sebagai makhluk yang berbahasa dan berbudaya.
Pertama, mari kita samakan persepsi bahwa aktivitas menulis itu maknanya luas. Sebagaimana dalam kisah di awal, ada tulisan pribadi dalam bentuk diary, ada karya tulis ilmiah, ada cerpen, artikel, resume, dsb.
*Menulis* adalah *kata kerja* yang hasilnya bisa sangat beragam. Oleh karena itu tak hanya *novelis, cerpenis, jurnalis atau blogger*, namun ada juga *_copywriter_* yg tulisannya mengajak orang untuk membeli produk, ada *_content writer_* yang bertugas membuat tulisan profesional di website, ada *_script writer_* penulis naskah film/sinetron, ada *_ghost writer, techincal writer, hingga UX writer, dll_*.
Faktanya, penulis-penulis tersebut masih bisa terserang *virus WB* alias *_Writer's Block_*.
Yuk simak bersama Pengalaman dan Cerita
Bu Ditta:
Saya sendiri sudah senang membaca buku-buku cerita sejak kecil (sebelum SD). Senang menulis sejak di sekolah dasar (dalam buku diary).
Lalu saat SMP, sering mengirim tulisan ke mading sekolah dan pernah menulis cerita di buku tulis yang dibaca bergiliran oleh teman-teman.
Kemudian, Atas arahan guru Bahasa Inggris saya saat itu, saya juga menulis diary dalam bahasa Inggris.
Dan, Ketika SMA, saya masih tetap menulis diary. Beberapa teman dekat yang membaca diary saya sempat berkomentar bahwa tulisan saya sudah seperti novel.
Namanya anak remaja, banyak emosi yang dituangkan dalam catatan Ditta remaja. Namun belakangan, saya tahu bahwa menulis apa pun yang kita rasakan bisa menjadi _self healing_ yang baik.
Bahkan saat ini, beberapa psikolog ada yang menyarankan kepada para pasiennya untuk menulis sebagai salah satu cara mengatasi depresi dsb.
Rupanya kebiasaan menulis tersebut memberi banyak manfaat. Misalnya ketika kuliah, saya pernah membuat buku Petualangan Kimia bersama rekan saya dan diikutsertakan dalam Lomba Kreativitas Mahasiswa di Jurusan. Alhamdulillah meraih posisi kedua.
Di saat kuliah juga, saya menulis proposal bersama teman-teman dan kami berhasil mendapat dana hibah untuk asosiasi profesi dari Dikti hingga 40 juta. Di tahun 2009-2010 jumlah tersebut tentu sangat besar.
Berbeda saat masuk dunia kerja. Awal masuk dunia kerja, bisa dibilang saya cukup vakum menulis. Mengajar di _boarding school_ dengan aktivitas yang padat membuat saya mengambil jeda sejenak dalam dunia kepenulisan.
Hingga akhirnya di awal masa pandemi, saya mengikuti kelas menulis bersama PGRI dan masuk di angkatan ke-7.
Disini, saya sangat bersyukur, karena berawal dari arahan untuk membuat resume, saya kemudian kembali aktif menulis di blog. Bahkan berkesempatan menulis bersama Prof. Eko. Alhamdulillah menjadi 1 di antara 9 orang (angkatan pertama tantangan Prof. Eko) yang bukunya terbit di penerbit mayor.
Karena terbiasa menulis juga, alhamdulillah saya bisa menyelesaikan esai di seleksi Calon Pengajar Praktik Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 3 dan lulus. Alhamdulillah saat ini sedang bertugas lagi di Angkatan 6.
Inspirasi yang luar biasa untuk kita semua. Bu Ditta juga menambahkan, penyataan lainnya. Ibu yang membuat saya kagum. Bukan cuma pengalamannya. Namun, kebuntuan yang selama ini kita alami mejadi terang benderang dan ada jalan keluarnya.
Tak peduli tua atau muda, profesional atau belum, WB bisa menyerang siapa pun yang masuk dalam dunia kepenulisan.
Oleh karena itu, penting bagi seorang penulis untuk mengenali WB dan cara mengatasinya.
Karena, WB ini bisa menjangkit dalam hitungan detik, menit, hari, minggu, bulan, bahkan tahunan.Tergantung seberapa cepat kita menyadari dan mengatasinya.
Sederhananya, WB adalah kondisi dimana kita mengalami kebuntuan menulis. Tak lagi produktif atau berkurang kemampuan menulisnya.
Hal ini bisa terjadi dengan disadari atau pun tidak. Istilah _writer's block_ sebenarnya sudah ada sejak tahun 1940an. Diperkenalkan pertama kali oleh Edmund Bergler, seorang psikoanalis di Amerika.
Berkaca dari pengalaman, WB ini bisa terjadi berulang. Me-reinfeksi kita sebagai penulis. Itulah mengapa saya katakan WB ini sebagai "virus" yang sesekali bisa aktif bila kondisinya memungkinkan.
Ibarat penyakit, tentu akan lebih mudah disembuhkan bila kita mengetahui faktor penyebabnya, bukan?
Begitu pula dengan WB. Agar bisa terhindar atau segera terlepas dari WB, maka kita perlu mengenali penyebabnya.
Berikut adalah beberapa hal yang dapat mengakibatkan WB:
1.*Mencoba metode/topik baru dalam menulis* sebenarnya bisa menjadi penyebab sekaligus obat untuk WB.
Misal ketika jadi penyebab:
Ada orang yang senang menulis cerpen atau puisi. Kemudian tiba-tiba harus menulis KTI yang tentu saja memiliki struktur dan metode penulisan yang berbeda. Bila tak lekas beradaptasi, bisa jadi kita malah terserang WB.
Lalu bagaimana ini bisa menjadi salah satu obat WB?Â
Jawabannya akan berkaitan dengan faktor penyebab WB yang kedua dan ketiga.
Dalam Kamus Psikologi, *stres* diartikan sebagai ketegangan, tekanan, tekanan batin, tegangan dan konflik.
2. *Lelah fisik/mental* akibat aktivitas harian yang padat juga dapat memicu stress.
Pada akhirnya, jangankan menulis, kita bisa merasa jenuh dan suntuk. Terserang WB deh.
Maka, *mencoba hal baru dalam menulis bisa jadi alternatif solusi.* Mempelajari hal-hal baru yang berbeda dg sebelumnya pasti menyenangkan. Beberapa teman dan saya sendiri terkadang memilih untuk sejenak rehat dan melakukan hal yang disukai untuk refreshing.
3. *Membaca* buku-buku ringan untuk cemilan otak juga bisa jadi solusi mengatasi WB. Biar bagaimanapun, WB bisa terjadi karena kita belum bisa mengekspresikan ide dalam bentuk kata.
Dengan membaca, kita bisa menambah kosa kata. Pada akhirnya, jika diteruskan insya Allah bisa sekaligus mengatasi WB. Terakhir, yang bisa menyebabkan WB adalah *terlalu perfeksionis.*
Ibu Bapak hebat, masih ingat kisah saya menulis diary berbahasa Inggris yang saya ceritakan di awal?
Jika saya membuka kembali diary berbahasa Inggris yang saya tulis saat duduk di kelas 2 SMP, saya akan tersenyum bahkan tertawa sendiri.
Bagaimana tidak? Grammar nya saja _banyak yang tidak sesuai_, tapi saya tetap PD menulis. tak hanya satu, ada dua atau tiga diary. Tapi, justru itulah *salah satu kunci menghadapi WB*
Bila saat itu saya terlalu perfeksionis, terlalu memikirkan apakah tulisan saya sudah sesuai kaidah atau belum, niscaya diary berbahasa Inggris itu tidak akan pernah rampung.
Kondisi menulis dimana kita tidak memikirkan salah eja, salah ketik, koherensi dsb ternyata dalam dunia psikologi dikenal dengan istilah *free writing* atau menulis bebas.
Nah, jadi siapa di sini yang masih khawatir tulisannya tidak dibaca? Khawatir dinyinyir orang? Khawatir dikritik ahli? Khawatir tulisannya nggak bagus? Dan masiiih banyak kekhawatiran lainnya.
Setelah menyimak dengan seksama materi yang diberikan oleh Bu Ditta lalu saya menanyakan hal yang sering saya alami.
Assalamu'alaikum
Nama saya Rahman Sumenep, Mau tanya bu, bagaimana cara kita untuk menghilangkan rasa keragu-raguan saat menulis, karena ide mandek di tengah jalan. Terima kasih
Bu Ditta memberikan jawaban yang inspiratif menurut saya:
Menurut Bu Ditta, menulis dengan teknik free writing alias menulis bebas. Saat mandek, coba tulis saja:
"Sekarang ini saya sedang buntu menulis. Entah mengapa tiba-tiba mandek. Seperti sedang berlari sprint lantas menabrak tembok .... dst."
Atau bisa juga:
"Jujur, saat ini aku ragu. Ragu jika tulisanku ini seindah pelangi. Seharum mawar. Atau sebaik intan yang akan dipandang banyak orang. Banyak ketakutan yang muncul dalam benakku ... dst"
Nah kan meski mandek, dengan teknik free writing (biarkan tangan menulis dan ide muncul belakangan, tak perlu bingung benar salah yang penting nulis).
Sangat luar biasa. Terima kasih Bu Ditta pencerahannya sungguh jawaban bu Ditta sangat membantu saya dan juga pembaca lainnya. Sebagai pemula, tentu saya harus banyak belajar dan memperbaiki diri lagi agar lebih baik. Semoga saya terus semangat dan termotivasi agar bisa melahirkan karya hebat seperti Bu Ditta. Salam untuk semua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H