Secara umum penulis salut pada sosok yang satu satu ini, yah siapa lagi kalau bukan Yth. Bapak Fadli Zon, selanjutnya cukup disebut dengan Fadli saja. Masih muda tapi prestasinya sudah segunung, meskipun “nylenehnya” selaut pula. Sosok Fadli dalam satu sisi layak diacungi jempol, masa mudanya tidak seperti remaja or pemuda pada umumnya. Sekolah berprestasi, jadi mahasiswa juga berprestasi, tambah jadi aktivis pula. Selepas kuliah, di usianya yang baru 26 tahun sudah duduk menjadi anggota MPR periode 1997-1999 sekaligus aktif sebagai asisten Badan Pekerja Panitia Adhoc I yang membuat GBHN.
Cobalah tengok ke belakang, pria kelahiran Jakarta pada tanggal 1 Juni 1971 jenjang SMA-nya hanya ditempuh selama dua tahun yskni di SMA Negeri 31, Jakarta Timur. Selama SMA, Fadli sering sekali memenangkan berbagai kompetisi siswa berprestasi, lomba pidato, baca puisi, tulis puisi, drama, karya tulis, karya ilmiah, dan matematika. Di sekolah SMAnya dulu, Fadli pernah dipercaya untuk menjadi Ketua Kelompok Ilmiah Remaja SMAN 31.
Fadli kemudian melanjutkan studinya di program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI). Fadli aktif di berbagai organisasi intra kampus maupun ekstra kampus, antara lain pernah menjadi Ketua Biro Pendidikan Senat Mahasiswa FSUI (1992-1993), Sekretaris Umum Senat Mahasiswa FSUI (1993), Ketua Komisi Hubungan Luar Senat Mahasiswa UI (1993-1994). Fadli juga berkali-kali memimpin demonstrasi mahasiswa UI dalam isu-isu nasional dan internasional. Ia ikut memimpin jaringan aktivis mahasiswa di Jawa dan mengusung gagasan ”Gerakan Mahasiswa 1990-an”.
Selain mendukung gerakan parlemen jalanan, dia juga turut membentuk dan menghidupkan kelompok-kelompok studi di dalam kampus UI era awal 1990-an. Di luar kampus, dia pernah dipercaya untuk menjadi Sekjen dan Presiden Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS) (1993-1995). Setelah menyelesaikan studi sarjananya, dia langsung mengambil Master of Science (M.Sc) Development Studies di The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris. (merdeka.com)
Selain itu, Fadli juga sempat menjadi Wakil Ketua Yayasan BESTARI (1991-1994), sebuah LSM bidang anak-anak dengan aktivitas utama Rumah Dongeng Indonesia yang ikut menyebarkan dongeng pada anak-anak dan membina kreativitas anak-anak Indonesia. Dalam kancah politik, Fadli memulai karirnya dengan menjadi Direktur Eksekutif Center for Policy and Development Studies (CPDS) pada tahun 1995-1997. Tahun 1998 dia ikut mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) dan menjadi salah satu ketuanya, hingga tahun 2001 memutuskan keluar. Baru di tahun 2008 dia bergabung dengan Partai Gerindra hingga sekarang.
Fadli juga sempat menjadi Sekjend HKTI mendampingi Prabowo Subianto dari tahun 2010 hingga 2015, 2015-2020 dia mengantikan Prabowo menjadi Ketum HKTI. Coba apa yang kurang dari seorang Fadli? Dia bahkan saat menjadi salah satu “makhluk langka” di Indonesia. Jangan su’sdzon dulu, anggota DPR-RI bisa ratusan, tapi pimpinan DPR-RI kan hanya beberapa gelintir orang saja, jadi pantas lah kalau disebut “makhluk langka” karena jumlahnya yang terbatas. Perjalanan karir yang dilalui Fadli juga termasuk “langka”, tak semua orang bisa melewatinya dengan mulusss-luussss... Sampai di sini penulis angkat topi untuk Fadli, tapi tidak untuk yang lainnya. Jadi apa yang urang dari Fadli? Silahkan menilai sendiri-sendiri saja.. hehe..
Eh tunggu... masih ada yang perlu “disaluti” lagi dari Fadli. Mengembalikan uang perjalanan anaknya plus tambahan tips untuk sopir, titik tanpa koma! Itu artinya Fadli mengakui bahwa dirinya “keleru” dan mau minta maaf, itu saja. Tapi kalau kemudian diembel-embeli pernyataan ini, itu dan lain sebagainya yang menambah kegaduhan dan ujung-ujungnya malah seperti menunjukkan bahwa Fadli itu panik, hanya membela diri dan justru terlihat (maaf) seperti bod**, padahal dia sendiri orang yang intelektual, SMA saja cukup ditempuh dua tahun kan? Fadli akan tetap gagah kalau waktu itu mengembalikan uang, minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Iya kan? Iya kan?
Kasus permintaan fasilitas untuk anaknya ke KBRI, mungkin Fadli lagi “apes”. Sejak jaman baheula, orla, orba sampai reformasi pun kebiasaan buruk seperti itu (penulis berkeyakinan) masih tetap berjalan dan dijalani oleh sebagian pejabat di negara kita mulai dari eskskutif, legislatif maupun yudikatif. Sebelum Fadli, sejumlah pejabat juga ketahuan melakukan praktek serupa. Manakala hal-hal seperti itu masih terus terjadi, ini artinya revolusi mental Jokowi belum berhasil 100%, sebab model-model yang dilakukan Fadli cs inilah yang segera perlu untuk direvolusi. Kalau tidak, nanti “revolusi mental” hanya tinggal slogan, kebiasaan (buruk) lama tetap jalan saja.
Ayo para pejabat, contoh Jokowi yang ke Singapure naik pesawat ekonomi tidak pakai pesawat kepresidenan pas acara pribadi. Padahal Jokowi bisa dan boleh saja menggunakan pesawat kepresiden untuk kepentingannya itu, sebab Jokowi adalah Presiden RI, Presdien RI adalah Jokowi. Jokowi dan Presiden RI saat ini ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Jokowi termasuk presiden yang tidak neko-neko. Penulis pernah berpapasan dengan rombongan Jokowi dari Purwokerto ke Magelang Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu, iring-iringannya pun biasa saja, hanya sekitar 10 sampai 15 mobil. Pengawalannya pun tidak ketat-ketat amat. Aduh melah nglantuurr...
Kembali ke Fadli, kenapa bisa apes? Mungkin Fadli kurang “cantik” saja dalam bermain. Moso minta bantuan untuk anaknya pake surat dinas dari kantor? Walaupun dibantah kalau dirinya tidak tahu. Mengembalikan uang perjalanan juga pake surat ber-kop resmi, welah.. malah jadi ketahuan.. ketahuan apanya ya pembaca? Coba kalau waktu itu minta bantuannya via telepon saja, mungkin kan lebih aman karena tidak meninggalkan jejak hitam di atas putih, sekalipun yang ini juga tidak menutup kemungkinan bisa “bocor” juga. Dasar nasib apes, mau telpun mau surat ya tetap saja apes! Jadi bulan-bulanan netizen dechh..