Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Darurat Prostitusi, Pak Jokowi Bagaimana Ini?

29 April 2015   08:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14302364821477731648

[caption id="attachment_380669" align="aligncenter" width="585" caption="Ilustrasi sebulan tanpa prostitusi di Ukraina (foto; repbulika)"][/caption]

Benarkah Indonesia darurat prostitusi? Entahlah.. tapi sekurang-kurangnya hal ini memang sedang menjadi salah satu perbincangan hangat di berbagai media massa, termasuk media sosial dalam beberapa hari terakhir ini. Di kompasiana pun hilir-mudik artikel yang memperbincangkan tentang kondisi terkini prostitusi di negeri tercinta kita ini. Pembicaraan ini mencuat dan menghangat setelah dua kejadian menarik tentang dunia esek-esek. Pertama, tewasnya seorang (diduga) penjaja seks komersial Tata Chuby oleh tamunya sendiri, dan kedua terungkapnya bisnis esek-esek di Apartemen Kalibata.

Kompasianer Musni Umar (MU),yang juga kandidat Profesor bidang sosiologi FISIP UIN Jakarta, menulis fenomena ini dengan judul Musni Umar; Darurat Prostitusi Dimana Peran BKKBN? Artikel ini pun di HL oleh admin, dan hingga tulisan ini diupload artikel tersebut telah dikunjungi oleh 267 pembaca. Ada lima point yang diutarakan oleh MU; 1). Mayoritas pelacut berpendidikan rendah, 2). Mayoritas pelacur berasal dari kalangan bawah yang miskin, 3). Rendahnya kontrol moralitas dari masyarakat, 4). Penegakan hukum yanglemah, dan 5). Keputusan politik, penyusunan Undang-Undang anti prostitusi. Plus, Musni Umar menanyakan 6). Sejauh mana peran BKKBN dalam pemberantasan prositusi.

Pendapat MU langsung ditanggapi dengan artikel pula oleh kompasiner Felix, kabarnya seorang dosen, sosiolog pula. Felix menulis artikel tanggapan dengan judul ”Darurat Prostitusi” Atau “Gejala Anomi” [Menanggapi Musni Umar]. Dalam artikelnya yang dihits 112-an pembaca tersebut Felix langsung menuju pertama, jika benar mayoritas pelacur berpendidikan rendah, lantas apakah benar pendidikan rendah itu yang menyebabkan mereka memutuskan menjadi pelacur? Lalu bagaimana kita akan menerangkan pelacur berpendidikan sedang/tinggi, yang jumlahnya “masih gelap”?

Kedua, jika benar mayoritas pelacur berasal dari keluarga miskin, lantas apakah benar kemiskinan yang menyebabkan mereka menjadi pelacur? Lalu bagaimana kita akan menjelaskan kehadiran pelacur dari kalangan kelas menengah? Ketiga, jika benar maraknya pelacuran terjadi karena rendahnya kontrol moralitas dari masyarakat, apakah gejala pelacuran tidak terdapat di beberapa kota yang punya “polisi moral” di Indonesia? Keempat, kalau benar pelacuran marak karena penegakan hukum lemah dan bersifat menekan pada perempuan pelacur, apakah itu tidak berimplikasi pada perlunya sebuah undang-undang yang mengatur (bukan melarang) pelacuran? Sebab pelacuran hanya bisa ditindak jika ada pelanggaran undang-undangnya.

Kelima, apakah ada jaminan gejala pelacuran akan hilang jika ada kemauan dan keputusan politik untuk membuat undang-undang untuk mencegah dan menghentikan prostitusi di masyarakat? Maksud nya, apakah undang-undang seperti ini akan efektif? Pertanyaan keenam, yaitu: Apakah BKKBN punya kompetensi dan kapasitas untuk mengatasi masalah pelacuran? Setahu saya itu urusan Kementerian Sosial. BKKBN tak perlu menambah-nambah kerjaan. Sukseskan saja program “Dua Anak Cukup!”

Sampai di sini, penulis sebagai “mahasiswa baru” yang masih planga-plongo mencoba untuk mencerna dan berpikir, lalu cenderung mengikuti pendapat Dosen Felix. Iya yah, prostitusi itu bukan “miliknya” orang-orang yang berpendidikan rendah, ingatan penulis langsung tertuju ke “oknum mahasiswi” UIN dan oknum-oknum lain yang menjadi “ayam kampus”. Apakah para ayam kampusitu bersala dari latar belakang miskin? Tidak juga. Apakah karena kontrol moral dari masyakarat kurang? Tidak juga. Coba kurang apa mahasiswa UIN itu yang setiap hari “mengaji” di kampusnya yang secara otomatis kontrol moral lingkungannya juga bagus. Dan seterusnya, dan seterusnya.. Dosen Felix berhasil mengarahkan penulis mengamini pendapatnya itu.

Masih menurut Felix, lima faktor yang terkait dengan gejala pelacuran, sebagaimana diklaim MU, mungkin baik jika diletakkan dalam konteks anomie menurut konsepsi R.K. Merton. Yaitu gejala perilaku menyimpang (tidak seturut norma/hukum) untuk pemuasan diri, karena kendala keterbatasan struktural dalam pencapaian tujuan. Kata kunci di sini, saya kira, adalah “kendala keterbatasan struktural” itu sendiri. Jadi, penyebabnya bukan dalam diri subyek “pelacur” (pendidikan rendah, kemiskinan, moralitas rendah, dll.), tapi dalam masyarakat berupa kendala struktural yaitu kemiskinan akses pelacur pada peluang usaha/kerja formal.

Jadi, pada titik ini, kita tak relevan bicara soal moral sosial, hukum, dan politik. Tak ada pelacuran yang bisa diberantas dengan sanksi moral, sanksi hukum, atau bahkan sanksi politik. Bahwa peningkatan akses pendidikan bisa menolong untuk meredam kecenderungan jalan pintas prostitusi, mungkin “ya”. Jelas bahwa pemerintah harus meningkatkan peluang kerja/usaha melalui program-program pembangunan ekonomi kerakyatan. Dengan cara itu maka pendidikan yang tinggi baru mungkin berguna. Saya tidak hendak membantah klaim-klaim MU. Saya cuma berpikir agar jangan terlalu deterministik dalam memahami gejala pelacuran itu. Sungguh, kita tak akan mendapatkan jalan keluar yang tepat dengan cara berpikir seperti itu.

Sampai di sini, penulis kembali berpikir, sebab menurut Felix; Kata kuncinya adalah “kendala keterbatasan struktural” itu sendiri. Kendala struktural yaitu kemiskinan akses pelacur pada peluang usaha/kerja formal, jadi Jelas bahwa pemerintah harus meningkatkan peluang kerja/usaha melalui program-program pembangunan ekonomi kerakyatan. Nah, kalau sudah ngomong pemerintah, di tingkat propinsi, sebut saja DKI Jakarta misalnya, ada Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Sebagai orang nomor satu di DKI sudah seharusnya lah Ahok meningkatkan peluang kerja/usaha melalui program-program pembangunan ekonomi kerakyatan, bukan malah berencana melegalkan tempat pelacuran atau membuat lokalisasi.

Di tingkat pusat, ada Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, juga ada beberapa pembantunya, terkhususnya Mensos Khofifah Indar Prawansa. Sepertinya mereka-mereka belum ada action nyata ke arah ini. Padahal mereka pun punya kewajiban yang sama, yang salah satunya adalah harus meningkatkan peluang kerja/usaha melalui program-program pembangunan ekonomi kerakyatan, sehingga bisa meminimalisir praktek prostitusi yang kian marak di mana-mana, tak hanya di kota-kota besar, tapi sudah menyebar hingga ke kota-kota kecamatan di daerah-daerah pinggiran Nusantara.

Darurat Narkoba? Kita acungi jempol untuk eksekusi mati sejumlah terpidana. Darurat Prostitusi? Pemerintah belum ada apa-apanya. Padahal kedua-duanya sama-sama berbahaya. Tolong Pak Presiden, itu masalah PBB, Bank Dunia, Palestina dan entah apa lagi, sepertinya sudah “selesai” dulu lah, gantian ini yang di dalam negeri butuh kerja, kerja dan kerja nyata Anda! Bukankah begitu Pak Felix? Maaf kalau saya gagal paham menafsiri pendapat Anda, saya masih dalam tarap belajar.. suwun.. (Banyumas; 28 April 2015)

Selamat Pagi Indonesia!

Before; Gila Kepalan Orang Ini Laku 1,5 Trilliun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun