[caption id="attachment_378751" align="aligncenter" width="580" caption="Maruarar Sirait, Kader muda potensial PDIP yang tengah diistirahatkan oleh Mega (foto; antara)"][/caption]
|Trending Article| Megawati Soekarno Putri, sang Ketum PDIP adalah “trah Soekarno” nomor wahid. Setelah menjadi ketum partai terlama sepanjang sejarah reformasi Indonesia, sadar diri bahwa tak selamanya dirinya bisa berkuasa, maka mulailah dimunculkan calon pewaris PDIP dari “trah Soekarno” pula, siapa lagi kalau bukan Puan Maharani. Puan sudah agak lama turun gelanggang, diuji kemampuannya untuk menjadi seorang politisi yang digadang-gadang bisa menggantikan Megawati. Alhasil nama besar Soekarno bisa dengan cepat mempopulerkan nama Puan dikancah politik nasional, khususnya di internal PDIP.
Namun popularitas Puan sepertinya tak berbanding lurus dengan kemampuannya yang dinilai “pas-pasan” oleh sebagaian kalangan. Kemampuan Puan masih “kalah” jika dibanding Rieke Diah Pitaloka, Pramono Anung, Maruarar Sirati dan Eva Kusuma Sundari. Nama yang diebutkan dalam beberapa waktu terakhir ini seringkali menjadi corong PDIP dalam berbagai kegiatan terutama terlihat sekali menjelang pilpres bahkan hingga pilpres telah usai. Eva Kusuma Sundari menjadi orang yang cukup penting dalam perhelatan pilpres, demikian juga Maruarar, Rieke dan Anung.
Empat orang ini merupakan kader PDIP muda yang sangat potensial, bahkan “berkelas”. Mereka pekerja keras yang mau berjuang all out untuk kebesaran PDIP, mereka juga tidak sedikit dalam mengumpulkan pundi-pundi suara untu partai berlambang banteng mencereng itu. Bahkan beberapa hari menjelang Kongres PDIP di Bali, Maruarar masih sempat live di sebuah stasiun televisi swasta, berbicra masalah persiapan Kongres di Bali, tentang Megawati, harapan, peluang dan cita-cita PDIP. Belum lagi Rieke yang harus rela pisahan dengan suaminya gara-gara mbelani aktivitasnya di politik (baca;PDIP).
Kelincahan mereka sebagi politisi di PDIP, sepertinya bukan sesuatu yang harus direspon dengan baik oleh Megawati, terlebih mereka memiliki nilai “lebih” jika dibanding Puan. Ini barangkali yang tidak boleh, semua kader PDIP harus bersama-sama berjuang untuk membesarkan PDIP, tapi tidak boleh “menyaingi” trah Soekrano. Mereka harus menjadi politisi yang maksimal sama dengan Puan, syukur-syukur di bawahnya. Kalau sampai di atas Puan, maka karir mereka tidak akan lama. Begitu karir, popularitas dan peluang mereka naik melebihi Puan, maka bersiap-siaplah untuk “disingkirkan”.
Sebut saja kader daerah, Novita Wijayanti, putra (mantan) Ketua DPC PDIP Kabupaten Cilacap Jawa Tengah tiga periode sekarang sudah disingkirkan dari PDIP bersama dengan sang ayah dan hengkang ke Partai Gerindra. Novita pada periode 2004-2009 dipercaya menjabat sebagai Ketua Komisi C DPRD Jawa Tengah di bawah pimpinan ketua DPRD Murdoko yang juga Ketua DPD PDIP Jawa Tengah. Dalam perjalananya Novita juga berhasil menjadi ketua DPD KNPI Jawa Tengah. Cepatnya Novita meraih karir dan popularitas melalui PDIP, tidak menutup kemungkinan hal itu akan menjadi jalan bagi Novita menuju Senayan.
Belum sampai ke Jakarta, baru di Semarang, karena Novita diindikasi akan menyaingi trah Soekarno akhirnya “distop” dan dia ngalaih menuju ke Senayan melalui Gerindra. Masih di daerah yang sama, Rustriningsih yang menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah mendampingi Bibit Waluyo kala itu diusung oleh PDIP. Namun selama menjabat sebagai wagub, nama Rustri kian moncer di Jawa Tengah, bahkan namanya sudah menasional. Usahanya untuk mecalonkan diri sebagai CalonGubernur dari PDIP terganjal di DPP. Megawati lebih memilih Ganjar Pranowo yang belum begitu populer untuk menjadi petugas partai sebagai Gubernur Jawa Tengah. Rustriningsih terjungkal, dan karir politiknya tamat di sini.
Maruarar, Rieke, Eva dan Anung sepertinya senasib dengan Novita dan Rustri yang menapak jejak di daerah. Paska Kongres PDIP di Bali, nama-nama mereka tidak tercantum dalam susunan kepengurusan DPP PDIP. Mereka memang tidak dipecat keanggotaanya dari PDIP, tapi sebagai kader muda potensial yang telah sekian lama ikut berpartisipasi membesarkan partai, lalu nama-namanya sekarang dilupakan, ada apa ini? Bagi yang menjadi anggota dewan, memang belum tersingkir 100%, setidak-tidaknya masih bisa menikmati jabatan yang ada, tapi tanpa jenjang dan tanpa karir, setelah 2019 mereka hampir pasti “mati kutu” dan tersingkir untuk selama-lamanya.
Sebuah ketakutan Megawati kah? Kalau mereka nanti akan menjadi “hama” yang akan menyingkirkan trah Soekarno dari rumahnya sendiri karena yang digadang-gadang kurang memuaskan? Puan didorong-dorong, hasilnya masih segitu-segitu saja. Jadi menteri malah promosi jamu, bisa berabeh PDIP nantinya. Paska Kongres Bali, nama Prananda Prabowo dimunculkan sebagai alternatif jika Puan seiring berjalannya waktu tidak ada progress yang mengggembirakan. Prananda bisa jadi pilihan penerus trah Soekarno di PDIP. Yang jelas banyak pengamat yang menilai bahwa keputusan Megawati ini blunder dan merugikan PDIP ke depannya. atau... ?
Ow..ow.. jangan salah, mungkin mereka “diistirahatkan” karena mereka tengah dipersiapkan untuk menjadi menteri hasil reshufle kabinet beberapa bulan lagi? Sebut saja Rieke bakal menggantikan Mensos Khofifah Indar Prawansa, Maruarar Sirait bakal menggantikan Menpora Imam Nachrawi, Eva Kusuma Sundari bakal menggantikan Rini Seomarno dan Pramono Anung bakal menggantikan Menkumham Yasona H Laoly. Tapi sepertinya jauh panggang dari api, dan waktu yang akan segera membuktikannya! (Banyumas; 16 April 2015)
Selamat Malam Semua!
Recomended :
Ciregol Ambrol, Jalur Tengah Jateng Terputus
Paus Fransiskus Dukung Kesepakatan Nuklir Iran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H