Buya Safi'i dan Jokowi (foto; dekandidat)
Salah satu tokoh nasional yang kecewa dengan kinerja Presiden Jokowi adalah Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif. Karena kekecewannya itu, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu bahkan sempat menolak saat ditunjuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Penolakan tersebut disampaikan dengan cara halus. Beliau menolak dengan alasan usianya sudah tak muda lagi.
Namun belakangan (setelah ditunjuk menjadi Tim Independen) Buya Syafi’i terang-terangan awalnya sempat kecewa terhadap Presiden Jokowi. Kekecewaan itu pertama bermula saat sepak terjang presiden yang diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) itu dinilai tidak sesuai dengan harapnnya, yakni membagi-bagi jabatan kepada orang-orang dari partai pengusungnya.
Terlebih lagi, kedua saat mengetahui Presiden Jokowi mengajukan nama Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, sementara yang bersangkutan tengah menjadi sorotan karena telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus “rekening gendut”. Buya makin kesal dengan sikap Presiden yang tidak tegas menghentikan perseteruan KPK dengan Polri. Belum lagi ketiga para calon anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu diisi mayoritas orang-orang titipan partai. Anggota Wantipres Sidarta Danusubrata, Suharso Monoarfa, Jan Darmadi, Rusdi Kirana, Yusuf Kartanegara, Subagyo Hadi Siswoyo, Abdul Malik Fadjar, Sri Adiningsih, dan Hasyim Muzadi.
Kekecewaan itu pantas diungkapkan, karena sebelumnya guru bangsa yang ini ikut mendukung Jokowi saat maju sebagai capres ini. Kekecewaan Buya Syafi’i terungkap setelah dirinya ditunjuk menjadi bagian dari Tim Independen yang bertugas menangani konflik KPK-Polri. Kini Buya bersyukur karena Presiden Jokowi telah “tersadar” dari kekeliruannya. ‘’Saya bersyukur Jokowi akhirnya siuman.’’ Begitu komentar Buya, pendek namun tajam usai Presiden Joko Widodo membentuk Tim Independen yang beranggotakan tokoh-tokoh berintegritas untuk memberi masukan dalam penyelesaian konflik KPK-Polri.
Buya memahami, Jokowi bukan orang merdeka, tapi tersandera partai. Tapi kalau Jokowi tidak tegas, maka wibawanya sebagai Presiden akan terus melorot. Ia bersyukur Jokowi tampaknya menyadari hal itu dan kemudian membentuk Tim 9. Sebagai bagian dari Tim 9 Ia menjamin tim akan bekerja secara independen, dan dirinya tak ingin diarah-arahkan. “Saya orang merdeka dan bukan orang yang mau diarah-arahkan,” tegasnya. (sumber: smcetak)
Alhaasil Tim 9 sudah bekerja dan merekomendasikan 5 poin kepada Presiden Jokowi, yaitu : pertama, Presiden seyogyanya memberi kepastian terhadap siapapun penegak hukum yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri dari jabatannya atau tidak menduduki jabatan selama berstatus sebagai tersangka demi menjaga marwah institusi penegak hukum baik Polri maupun KPK`
Kedua, Presiden seyogyanya tidak melantikcalon Kapolri dengan status tersangka, dan mempertimbangkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri agar institusi Polri segera dapat memiliki Kapolri yang definitif. Ketiga, Presiden seyogyanya menghentikan segala upaya yang diduga merupakan kriminalisasi terhadap personel penegak hukum siapapun, baik Polri maupun KPK dan masyarakat pada umumnya.
Keempat; Presiden seyogyanya memerintahkan kepada Polri maupun KPK untuk menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan oleh personel Polri maupun KPK, dan kelima; Presiden agar menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas. (sumber; cnn)
Apakah rekomendasi itu menjadi jalan keluar terbaik? Entahlah. Nyatanya Kuasa hukum calon Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Eggi Sudjana, menilai rekomendasi yang dikeluarkan Tim 9 ihwal pembatalan pelantikan kliennya tidak tepat. Mengingat Pencalonan Budi Gunawan telah dibahas dan disetujui DPR. "Suka enggak suka, Kapolri tetap Budi Gunawan, hanya belum dilantik." Jelas Eggi sebagaimana dilansir tempo.
Rekomendasi Tim 9 dinilai justru memperkeruh keadaan karena tidak memberikan solusi tepat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Eggi, rekomendasi tersebut mencederai hukum. Jokowi seharusnya tetap melantik Budi Gunawan meski berstatus tersangka kasus suap dan gratifikasi. Jika Budi tidak dilantik, akan menjadi contoh buruk di Indonesia. "Hukum kalah oleh ketokohan,", gimana ini? Hanya bisa menonton sambil tepok jidat! Prihatin..
Save Indonesia
Sebelumnya :
1.Menimbang Perlunya Hak Imunitas Bagi KPK
2.Inilah 7 Kejanggalan Kasus Bambang Widjojanto
3.Arzeti Bilbina Resmi Gantikan Imam Nachrowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H