Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tim 9 Bisa Jadi Bumerang Bagi Jokowi

30 Januari 2015   06:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:07 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_366590" align="aligncenter" width="297" caption="Presiden Jokowi sedang galau? (foto; tempo)"][/caption]

Dalam keadaan tertekan dan ragu-ragu dalam bersikap terkait konflik KPK-Polri, akhirnya Presiden Jokowi (selanjutnya disebut Jokowi) berinisiatif membentuk Tim Independen atau Tim 9 yang diharapkan bisa membantu mengurai benang kusut kekisruhan dua lembaga penegak hukum itu. Namun keputusan presiden membentuk tim tersebut juga mendpatkan respon yang berbeda dari masyarakat umum maupun para tokoh. Lebih parahanya lagi, tim yang terdiri dari 9 orang ini bisa menjadi beban baru, bahkan bisa menjadi bumerang atau senjata makan tuan bagi Presdien Jokowi.

Indikasi tersebut mulai samar-samar terlihat sejak Jokowi membentuk tim. Sejumlah pertanyaan muncul, mengapa presiden harus repot-repot membentuk tim, sementara presiden sendiri sudah memiliki Dewan PertimbananPresiden (Wantimpres) yang sewaktu-waktu bisa dimintai masukan untuk membantu memecahkan berbagai masalah. Tapi entahlah, dengan alasan di luar struktur dan diyakini bisa lebih independen, maka terbentuklah Tim 9 yang diketuai oleh mantan Ketum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif.

Disadari atau tidak, pembentukan tim ini telah “melukai” anggota Wantimpres. Entah sekedar kebetulan atau memang disengaja, hasil kesimpulan rekomendasi yang diajukan oleh Tim 9 dan Wantimpres berbeda seratus delapan puluh derajat. Tim 9 yang tidak memiliki legalitas itu akhirnya merekomendasikan agar Jokowi membatalkan rencana pelantikan Komjen Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri, sedangkan Wantimpres yang beranggotakan 9 orang pun merekomendasikan sebaliknya, Budi Gunawan agar segera dilantik.

Politisi senior PDIP Pramono Anung yang menyarankan agar Jokowi mengabaikan rekomendasi Tim 9. Politsi Golkar yang juga Ketua Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin mendukung pernyataan tersebut dan menyarankan Presiden sebaiknya meminta pertimbangan dari lembaga resmi negara, bukan Tim 9. Menurut dia, masukan dari tim independen tidak bersifat resmi dan hanya sebatas untuk masukan pribadi kepada Jokowi.

Azis menyatakan keputusan menerima atau menolak rekomendasi Tim 9 yang meminta Jokowi tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri masih sepenuhnya berada di tangan Presiden, mengingat rekomendasi itu bisa diterima, bisa ditampung, juga dikerjakan, jadi terserah Presiden untuk mengambil langkah-langkah yang tepat.

Hal senada juga disampaikan oleh Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga Anggota Komisi III DPR RI Nasir Jamil meminta Jokowi berkonsultasi dengan beberapa lembaga tinggi negara dahulu seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan DPR sebelum merespons rekomendasi Tim 9 yang menyarankan agar tidak melantik calon Kapolri terpilih Komjen Budi Gunawan. Presiden harus bisa membuat keputusan arif yang berlandaskan konstitusi guna mengakhiri konflik KPK-Polri. (bacaan; rimanews)

Kuasa hukum calon Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Eggi Sudjana pn melakukan “perlawanan” dengan menuduh rekomendasi yang dikeluarkan Tim 9 ihwal pembatalan pelantikan kliennya tidak tepat. Mengingat Pencalonan Budi Gunawan telah dibahas dan disetujui DPR. “Suka enggak suka, Kapolri tetap Budi Gunawan, hanya belum dilantik.” Jelas Eggi. Rekomendasi Tim 9 dinilai justru memperkeruh keadaan karena tidak memberikan solusi tepat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rekomendasi tersebut mencederai hukum. Jika Budi tidak dilantik, akan menjadi contoh buruk di Indonesia. “Hukum kalah oleh ketokohan” (baca; kompasiana)

Pernyataan Eggi diamini oleh Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito yang menyarankan Presiden Joko Widodo untuk tetap melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sebab jika Budi Gunawan tidak dilantik, maka hal tersebut bisa menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Budi Gunawan jelas sudah disetujui oleh DPR RI untuk menjadi Kapolri. Dalam hal ini, langkah selanjutnya yakni tinggal presiden segera melantiknya.

Kalau tidak dilantik sama artinya presiden melecehkan DPR RI secara kelembagaan. Dalam proses hukum tata negara, pasca sudah keluarnya persetujuan dari DPR, maka siapapun dia memiliki hak untuk dilantik. Sedangkan, Jokowi memiliki kewajiban untuk melantik. Kalau tidak melantik berarti hal ini dikategorikan sebagai perbuatan tercela secara hukum. (lihat; disini)

Bebeda dengan pendapat-pendapat di atas, Waketum Golkar kubu Agung Laksono, Yorrys Raweyai menyarankan agar Jokowi melaksanakan rekomendasi Tim 9, yang intinya tidak melantik Komjen Budi Gunawan dan segera menunjuk calon kapolri baru. Untuk apa Jokowi membentuk tim kalau kemudian rekomendasinya tidak diperhatikan. Pembentukan tim ini juga sudah mendapat masukan dari berbagai macam kalangan, terdiri dari tokoh-tokoh berintegritas dan dapat dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan Wantimpres yang berasal dari internal, kalau Tim 9 berasal dari luar yang diyakini bisa menjaga independnsinya. (baca; detik).

Maju kena, mundur kena. Lepas dari masalah melanggar hukum atau tidak, jika Jokowi mengikuti saran / rekomendasi Tim 9, membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan, jelas ini mengecewakan sekaligus menyakiti DPR, Wantimpres, Budi Gunawan cs, PDIP, Nasdem dan partai-partai koalisi anggota KIH. Jika mereka dikecewakan, maka ke depan mereka tidak akan bisa dijadikan mitra yang baik dalam menjalankan roda pemerintahan, lagi-lagi ini merupakan batu sandungan untuk Jokowi.

Bagaimana pula jika Jokowi tetap melantik Komjen Budi Gunawan? Sepertinya Tim 9 dan orang-orang yang telah menyambut baik pembentukan tim ini akan merasa kecewa berat. Untuk apa mereka repot-repot dibentuk, bila sudah berpendapat tapi hanya didengarkan lalu diabaikan begitu saja. Tim 9 terdiri dari dua mantan KPK, dua punawiran Polri. Ada pula akadimisi dan pakar yang cukup kredibel.

Kalau sampai rekomendasi Tim 9 tak dipakai, kemungkinan akan muncul reaksi keras dari masyarakat. Minimal warga Muhammadiyah juga akan bereaksi, sebab bagaimanapun juga Ketua Tim, Syafi'i Ma'arif yang mantan Ketum PP Muhammadiyah itu, merupakan salah satu tokoh yang masih sangat disegani dan menjadi rujukan warga Muhammadiyah. Belum lagi, Buya Syafii Maarif Sebelumnya Sudah Kecewa Terhadap Jokowi. Anggota lain pun juga bisa menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk terbawa emosi “kecewa” pada keputusan Jokowi nantinya.

Yah semuanya masih abu-abu. Kita hanya bisa berandai-andai; andai saja Jokowi tidak mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, andai saja Jokowi memperhatikan hasil temuan KPK dan PPATK, andai saja Jokowi tidak mendapatkan tekanan dari partai-partai pengusunya.. anda saja, dan andai saja..

Tapi ibarat nasi sudah menjadi bubur, dan parahnya bubur itu sudah terlanjur dicicipi banyak orang. Beragam komentar dan penilain bermunculan, bahkan dari kalangan yang tidak mencicipi sekalipun ikut memberikan penilaian karena terpengaruh komentar orang lain. Ada yang bilang asin, ada yang bilang hambar, ada yang bilang pedas, ada yang bilang manis, ada yang bilang asam dan bahkan ada yang bilang basi.

Tak apalah walau nasi sudah menjadi bubur. Kini Jokowi telah mengundang sejumlah koki dari luar untuk membantu memperbaiki bubur yang berasa “nano-nano” agar menjadi bubur yang bisa dinikmati bersama dengan rasa yang tak jauh berbeda bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Bahkan Prabowo Subijanto, “bos” restoran sebelah yang dulu menjadi rivalnya hari ini baru saja ditemuinya, apalagi kalau bukan untuk bertukar resep agar nasi yang sudah menjadi bubur bisa menjadi bubur terbaik bagi kita semua. Atau bahkan ada rencana Jokowi ingin pindah restoran? Entahlah..

Akhir kata, semoga racikan ulang bubur Jokowi bisa memuaskan semua pihak. Sebab keputusan akhir penyajian bubur itu menjadi kewenangan “Chef” Jokowi. Salah cara menyajikan, bubur bisa tumpah, bahkan bisa muncrat dan tak sekedar mengotori pakain, tapi bisa juga mengotori muka sang penyaji. Ibarat senjata layaknya bumerang, salah melempar bisa menjadi senjata makan tuan. Semoga tidak! Amiin.. (Banyumas; 29 Januari 2015)

Save Indonesia

Sebelumnya :

1.Buya Syafii Maarif Kecewa Kinerja Jokowi

2.Menimbang Perlunya Hak Imunitas Bagi KPK

3.Inilah 7 Kejanggalan Kasus Bambang Widjojanto

4.Arzeti Bilbina Resmi Gantikan Imam Nachrowi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun