Mengapa Krisis Iklim Perlu Menjadi Fokus Dunia?
Di akhir Oktober 2024, Spanyol sekali lagi merasakan akibat dari perubahan iklim. Banjir besar telah melanda daerah bagian Valencia dan sekelilingnya yang meluluh lantakan ribuan rumah, korban jiwa diperkirakan mencapai 214 orang, dan ribuan orang lainnya kehilangan rumahnya. Bencana banjir besar yang terjadi tidak hanya masalah lokal, tetapi juga peringatan dari alam untuk seluruh dunia tentang dampak perubahan iklim. Ketika Laut Mediterania mengalami lonjakan suhu mencapai 1,5°C di atas normal, memunculkan adanya fenomena tetesan dingin (Depresión Aislada en Niveles Altos atau DANA), sehingga menyebabkan hujan yang sangat deras berkepanjangan sampai tidak bisa diatasi sistem drainase kota.
Ditinjau dari laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), telah terjadi peningkatan suhu bumi mencapai 1,1°C dari sejak masa pra-industri. Apabila kenaikan suhu ini tidak segera diselesaikan, maka suhu dapat meningkat hingga 1,5°C bahkan 2°C di abad ini. Banyak bencana alam yang dapat terjadi akibat kenaikan suhu ini yakni gelombang panas, banjir besar, hingga badai yang menghancurkan. Masalah ini tidak hanya menancam ekosistem alam, tetapi juga mengancam populasi umat manusia.
Pola Cuaca Ekstrem dan Peringatan dari Seluruh Dunia
Spanyol bukan satu-satunya negara yang merasakan bencana akibat krisis iklim ini. Bencana akibat krisis iklim ini terjadi di semua negara, memperlihatkan pola yang semakin tidak bisa diduga. Misalkan di Florida, Amerika Serikat, telah terjadi Badai Milton menyebabkan kerusakan skala besar karena banjir bandang dan angin kencang. Kemudian terjadi juga, di Maroko, banjir besar melanda Gurun Sahara yang merupakan daerah kering bahkan jarang hujan. Fenomena ini memberikan penegasan bahwasanya tidak ada sudut daerah manapun yang lolos dari dari dampak krisis iklim.
Di Valencia, kondisi hujan ekstrem terus terjadi yang menyulitkan sistem drainase kota. Sistem insfrastruktur kota yang hanya bisa mengatasi curah hujan normal, tidak mampu terus menerus menahan luapan air hujan yang ekstrem. Sebuah laporan dari DW (17/09) menjelaskan bahwasanya pola cuaca seperti ini semakin sering terjadi karena pemanasan lautan. Suhu air laut yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan uap air pada atmosfer bumi, yang kemudian menyebabkan curah hujan semakin banyak.
Namun, ada secercah harapan. Saat ini, banyak negara telah melakukan investasi besar pada infrastruktur ramah lingkungan yang efektif. Misalnya, negara Belanda yang membangun retention basin yang telah terbukti efektif mengatasi banjir. Selain itu, Singapura membuat teknologi rain garden dan jalan berpori untuk penyerapan air tanah. Hal ini tentu menjadi contoh bagi negara lain tentang infrastruktur yang bisa diupayakan untuk mengurangi dampak krisis iklim.
Tidak sebatas itu, individu juga memgang peranan penting dalam krisis iklim. Saat ini telah banyak kampanye pengurangan emisi karbon yang dilakukan supaya manusia bisa menjalani hidup dengan sehat dikemudian hari. Misalnya, menggunakan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi, mengurangi konsumsi daging, dan mulai menggunakan produk raham lingkungan dan mengurangi konsumsi produk tidak ramah lingkungan, ini adalah contoh upaya sederhana yang bisa dilakukan individu dan bisa berdampak besar apabila dilakukan secara bersama-sama. Masyarakat harus memiliki kesadaran sedini mungkin, baik dari kampanye lingkungan maupun pendidikan formal.
Di seluruh dunia, kolaborasi dalam mencapai target Perjanjian Paris teramat penting. Perjanjian ini memberikan target untuk membatasi suhu global di bawah 2°C, harapan idealnya adalah 1,5°C. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seluruh negara wajib menekan produksi emisi karbon secara signifikan dan mengalihkannya pada sumber energi terbarukan misalkan gelombang, panas bumi, air, maupun angin. Langkah yang dilakukan tidak sekadar menekan bencana iklim, tetapi juga memberikan dorongan pada perekonomian negara menjadi ekonomi berkelanjutan.
Kerugian dan Pelajaran dari Bencana