Ironisnya, semua kandidat yang bertarung baik di tingkat Propinsi hingga kabupaten/kota ditentukan oleh keputusan DPP setiap partai politik (Peraturan KPU No. 9 Tahun 2016). Dengan demikian, mudah ditebak, formasi konflik di tingkat elit, sangat mungkin menetes ke bawah. Sehingga dinamika kompetisi pilkada menjadi tidak alamiah. Dan ini jelas berbahaya.
Rangkaian even ini tampaknya akan menguras lebih banyak lagi energi kebangsaan kita. Pertanyaannya, masih seberapa kuat modal social kita sebagai sebuah bangsa ? belum lagi bila kita menambahkan variabel lain seperti masalah ekonomi, masalah hukum (keadilan), keamanan nasional, dan dinamika lingkungan strategis global yang tidak menentu. Bila tidak cukup kuat, dikhawatirkan satu per satu fundamen kebangsaan kita akan lepas dari porosnya, dan sistem masyarakat di negara yang konon terbuka, toleran dan "tata tentrem kerta raharja" ini, akan kehilangan esensinya.
Tidak hanya pemerintah, tapi kita semua, perlu menyadari kegentingan ini, serta mulai melakukan upaya apapun yang dianggap perlu untuk menghimpun kembali modal sosial kita yang berserak selama ini, serta untuk mendefinisikan lagi demokrasi yang kita maksud, benarkah kita sedang berdemokrasi ? ataukah justru kita sedang bersama-sama membidani lahirnya anarki ? Wallahualam bi Sawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H