"Petani seharusnya pergi ke sawah, melewati pematang, berteduh di pohon rindang, menaruh semua barang bawaan, menyantap sarapan pagi, membersihkan gulma dan hama, lalu mulai menanam semaian."Â
"Ndang budal'o, selak panas"
Sedikit kerempongan pagi. Omelan lirih dari seorang nenek tua bungkuk yang kala itu sedang memasak nasi. Pawonnya sederhana. Perapiannya masih sangat kuno. Menggunakan kayu bakar, dengan batu bata sebagai penyangga panci gerabah.
"Nggih Mbah, Dirman pergi sekarang," balas Dirman dengan nada mengeluh, sehabis membersihkan lantai gubuk yang hanya beralaskan tanah.
Dia adalah seorang pengangguran yang kurang beruntung. Sebetulnya, ia sudah menggapai sarjana hukum di salah satu kampus di kota terdekat, dengan jarak yang sebenarnya sangat jauh dari perkampungan dia. Predikatnya pun terbilang cukup memuaskan. Namun dengan kondisi seperti sekarang, Dirman dipaksa oleh keadaan dan memilih menyerah, untuk tetap bertahan di gubuk reoknya.
Selain hanya memiliki Mbah Uti seorang, ada sedikit aset yang perlu ia jaga dan rawat sepeninggal keluarga kecilnya. Bila ditelantarkan, ia ragu penduduk desa lain akan menggunakannya tanpa izin untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Inilah yang mengancam Dirman, bilamana ia tinggalkan. Sengketa kepemilikan tanah yang bakal bikin hidupnya dan Mbah Uti semakin ruwet. Mengingat pengetahuan orang-orang desa yang masih minim. Apalagi kalau sampai benar-benar terjadi, ia yakin penyelesainnya tidak bisa kooperatif. Mereka pasti hanya merespon dengan otot dan fisik. Begitu lah orang-orang di desanya.
Benar, Dirman adalah anak tunggal, baru-baru ini yatim piatu. Ayahnya buruh pabrik, terdampak kecelakaan kerja yang  mengakhiri hayatnya. Sedangkan ibunda tenaga kerja asing. Sekitar tiga minggu lalu, dilaporkan menghilang di tengah lautan karena kecelakaan pesawat. Tetangganya yang mengabarkan, dari siaran berita pagi. Pesawat yang ditumpangi ibunya hilang kontak di Laut Cina Selatan.
Dirman bergegas ke sawah atas perintah bawel Mbah Uti. Sejak kehilangan kedua orang tua, ia merasa bahwa hidupnya begitu-begitu saja. Monoton, tidak ada yang bisa diharapkan, apalagi dibanggakan.Â
"Apa gunanya bergelar, tapi tidak berdasi, duduk di kursi kantor, dan mendapat jabatan serta gaji di sana," ucap Dirman mengomel pada dirinya sendiri sembari menendang-nendang kecil kerikil di jalanan desa yang berdebu.