Kelanaku berhenti, papasan meriam tinggi
Terbentang, siap hendak menembak
Dan tepat itu menembak, seketika sesak.
Kurang lebih, seperti ini dentumannya:
"Dikau salah, ini tidak benar kawan
kudunya ‘tai’ pakai ‘h’, jadi ‘tahi’
dan, buat apa juga mencatumkan tahi,
dalam tulisan-tulisan yang tak jelas ini
Ini sangat amoral. Amat tak berpendidikan"
Sekilasku berang.
Agar kian tenang,
kuhembuskan saja,
kentutku.
Dan begini kukira
suara hembusannya:
"Hingga kapanpun
oleh siapapun
mau brattt, brettt, brottt, crrettt
Tak kan pernah ada tai yang baku
begitu pula dengan puisi,
dan sajak era kini,
dan lagak elitisnya,
para pujangga tahi kucing"
Yogyakarta, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H