Mohon tunggu...
Abby Crisma
Abby Crisma Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba Allah Biasa | Anak'e Ibu | Citizens

Simply, writing for relaxing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Januari 2023 Belum Kelar, Mari Meninjau Kembali Resolusi Tahun Baru

13 Januari 2023   16:00 Diperbarui: 14 Januari 2023   02:23 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"It's never too late to change what you are, even though it takes a long time" -Erin Morgenstern 

Perubahan waktu memang berjalan cepat sekali. Tidak terasa, kini pun sudah menginjak akhir minggu kedua di tahun 2023. Sebelum melangkah lebih jauh, bagaimana dengan resolusi-resolusi kalian di tahun ini? Apakah kalian menyusun resolusi yang baru? Apa mungkin menata dan menggunakan ulang resolusi tahun lalu yang belum tercapai? Atau bahkan masih ada yang belum menyadari urgensi menyusun resolusi tahunan? 

Momen pergantian tahun menjadi waktu yang tepat untuk membuat resolusi. Pandangan tersebut direfleksikan dalam istilah New Year's Resolution atau Resolusi Tahun Baru. Tempo awal tahun dapat meningkatkan optimisme sebagian besar orang untuk berubah dan berkembang menjadi lebih baik. Mereka menganggap tahun yang baru bak lembaran-lembaran kosong, putih dan bersih, yang memberikan keleluasaan untuk menggaris perjalanan yang lebih sistematis, tanpa harus mengkhawatirkan goresan-goresan semrawut penyebab distraksi dan demotivasi. 

"Resolusi Tahun Baru merupakan suatu tradisi dimana seseorang berkomitmen terhadap dirinya untuk mempertahankan sesuatu yang baik dan mengubah hal-hal buruk yang tidak diinginkannya sejak dimulainya tahun yang baru"

Sejarah Resolusi Tahun Baru

Melansir dari History.com dalam artikel yang berjudul The History of New Year's Resolution, menjelaskan bahwa tradisi resolusi tahun baru diketahui sudah dilakukan sejak 4000 tahun lalu oleh penduduk Babilonia Kuno. Tradisi ini dilakukan bersamaan dengan perayaan besar mereka untuk menghomati tahun baru. Adapun tahun baru mereka tidak jatuh di bulan Januari, namun pada pertengahan Maret yang mana bertepatan dengan dimulainya musim tanam (titik balik musim semi). Dalam perayaan tersebut, penduduk Babilonia Kuno menegaskan kembali kesetiaannya terhadap raja dan berjanji kepada dewa untuk mengembalikan berbagai wujud pinjaman serta membayar segala jenis hutang. Apabila mereka amanah, dewa akan menyuguhkan nikmat kepada mereka selama setahun yang akan berjalan. Ikrar tersebut yang dicatat sebagai pelopor dari Resolusi Tahun Baru.

Baca juga: Naked

Tradisi serupa terjadi pada masa Romawi Kuno, tepat setelah raja reformatif, Julius Caesar, mencetuskan kalender Julian dan menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun baru pada 45 SM. Penamaan Januari sendiri merupakan penghormatan kepada dewa Janus. Dewa Janus digambarkan sebagai sosok yang memiliki dua wajah dan jiwanya diyakini sebagai penjaga pintu, yang merepresentasikan 'dewa dari segala permulaan'. Adapun kepemilikan dua wajah secara simbolis mengartikan bahwa Janus menjelma sebagai jalan tengah di antara dualitas, selayaknya waktu lampau dan masa depan. Oleh karenanya, setiap pergantian tahun, bangsa romawi melakukan persembahan sebagai wujud permohonan maaf atas kekeliruan di masa lalu dan perjanjian yang baik kepada dewa demi keberuntungan di masa yang akan datang.

Lumayan mirip seperti apa yang dialami oleh umat beragama pasca periode diatas. Bagi umat kristiani, terutama yang masih pemula, hari pertama tahun baru dimanfaatkan untuk merenungi kesalahan masa lalu dan bertekad menjadi lebih baik kedepannya. Sampai Pendeta Inggris, John Wesley, pada tahun 1970 menciptakan watch night service atau kebaktian jaga malam. Kegiatan tersebut memberikan kesempatan bagi umat kristiani untuk membuat pengakuan dan meninjau kembali peristiwa yang sudah dilalui, kemudian mempersiapkan untuk kehidupan di tahun selanjutnya. Kegiatan tersebut disertai dengan pembacaan kitab suci dan nyanyian rohani sebagai upaya perjuangan dalam ranah spiritiual.

Begitu juga dengan kaum muslim. Hanya saja, mereka tidak merayakannya secara seremonial. Tahun baru mereka juga berbeda karena menggunakan penanggalan Hijriyah. Setiap memasuki hari terakhir di bulan Dzulhijjah, kaum muslim dianjurkan untuk introspeksi (muhasabah) diri dan berdoa. Doa tersebut dikhususkan menjadi doa awal dan akhir tahun. Keduanya berisi permohonan taubat atas dosa yang dilakukan kaum muslim di sepanjang tahun yang telah berlalu dan berharap atas kelimpahan rahmat yang tidak pernah terputus dari Tuhan Yang Maha Esa.

"Renungan dan pengharapan oleh umat beragama inilah yang secara implisit menggambarkan suatu Resolusi Tahun Baru"

Resolusi Tahun Baru Sebatas Pemenuhan Kebutuhan Lahiriah? 

Terlepas dari akar tradisi yang religius, nyatanya dewasa kini, sebagian besar Resolusi Tahun Baru merupakan praktek sekuler. Tradisi ini sudah lazim bagi masyarakat dunia barat, sekalipun tidak sedikit juga ditemukan di negara-negara timur. Alih-alih memohon dan berjanji pada dewa atau Tuhan, kebanyakan mereka membuat resolusi hanya berfokus untuk pengembangan karir dan diri sendiri. Lalu, apakah hal seperti ini cukup baik?

Baca juga: Ibadah Para Pelawak

Sebuah petuah religi pernah mengatakan, "Barangsiapa yang sekarang lebih baik daripada hari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang hari sekarang semakin buruk dari hari yang lalu maka dia terlaknat." 

Baca juga: Hope You Someday

Berpegang pada nasehat tersebut, sebetulnya fakta bahwa resolusi adalah 'janji untuk menjadi pribadi yang lebih baik', sudah cukup untuk melibatkan nilai-nilai leluhur, agama, atau kerohanian lain, meskipun terkadang dalam penyusunan resolusi tersebut tidak terdapat kalimat mimpi yang berterus terang menyatakan target pencapaian berupa rutinitas religius.

Sumber: Finder.com
Sumber: Finder.com

Hal tersebut selaras dengan survey yang dilakukan Finder terhadap 1013 responden yang menjadi representasi nasional di Australia. Dikutip dari artikel yang ditulis Sophie Wallis (2022) berjudul New Year's Resolution 2022 Statistic, menunjukkan bahwa dari 72% responden yang menyusun resolusi tahun baru, semuanya berfokus pada kepentingan pribadi untuk memenuhi hasrat duniawi, diantaranya seperti diet dan hidup lebih sehat, waktu tidur yang lebih, menerapkan work-balance, meningkatkan gaji, berwisata, renovasi rumah, serta memperoleh jodoh. Ternyata, poin-poin tersebut kurang lebih hampir sama dengan survey yang dilakukan di Indonesia.

Dilansir dari artikel yang ditulis Cindy Mutia Annur berjudul Resolusi Tahun Baru Masyarakat Indonesia (2022) di laman databoks.katadata.co.id, survey dari JakPat terhadap 1646 responden memaparkan bahwa 68,8% orang Indonesia sudah biasa menyusun resolusi tahun baru. Target resolusi yang ingin dicapai pun diantaranya hidup lebih hemat, menjaga pola makan, menambah relasi, mencoba hobi baru, olahraga yang rutin, hingga mencapai badan yang ideal. Adapun kesamaan yang dimaksud sebelumnya, didasarkan pada kenyataan bahwa poin resolusi yang terdata cenderung merujuk pada kepentingan lahiriah semata. Sejauh hasil survey, memang belum ditemukan kan resolusi semacam: 'lebih dekat kepada Tuhan', 'ibadah yang rajin', 'rutin membaca kitab suci', atau bahkan 'sedekah 100 kali sehari'.

Kendati demikian, apakah itu menjadi sebuah masalah? Sama sekali tidak. Ajaran surgawi sejatinya akan selalu berkenaan dan melekat pada segala hal yang berorientasi pada kebaikan. Terlepas dari data survey, haqqul yakin, sebagian besar individu pasti sudah menetapkan spiritual habit sebagai bagian dari resolusi mereka, yang tentu tidak harus ditulis secara fisik. Spiritualitas dan ritual-ritual semacamnya, merupakan hubungan antara hamba dengan Tuhannya yang seyogyamya tidak perlu diumbar. Penjelasan tersebut pada akhirnya dapat dikembalikan lagi pada definisi awal, bahwa resolusi diartikan sebagai 'komitmen' pada pribadi masing-masing.

Demotivasi Itu Wajar, Antisipasi Itu Wajib  

Sebagian besar mereka yang berhasil menyusun resolusi akan mengalami demotivasi seiring waktu berjalan. Di awal Januari semangat terasa bergejolak, namun kian berkurang pada bulan-bulan selanjutnya. Bahkan beberapa orang justru lebih memilih untuk mengakhiri resolusi mereka. Sedikit dari mereka kehilangan komitmen sejak awal (disengagement of goals), dan sebagian besar telah berusaha, namun tidak mampu mengupayakan lagi di bulan-bulan terakhir (discontinuation of goals). Oleh karenanya, tidak jarang mereka memanfaatkan momentum awal tahun untuk kembali ke jalur yang seharusnya.

"Mereka yang telah merencanakan saja pada akhirnya berpeluang menelantarkan, apalagi yang sama sekali tidak menentukan"

Demi mengantisipasi hal tersebut, pertama, perlu dipahami bahwa resolusi tahun baru adalah long-terms goal.  Maka dari itu, dibutuhkan perencenaan yang lebih detail dan matang, serta strategi yang cermat. Salah satu strategi yang bisa diterapkan dengan cukup mudah -namun tidak semudah itu- adalah dengan mengkombinasikan tujuan superordinat (superordinate goals) dan subordinat (subordinate goals), guna membangun suatu fondasi berupa goals hirearchy. 

Tujuan superordinat bersifat lebih luas dan jangka panjang, sedangkan subordinat merupakan capaian-capaian kecil yang perlu digapai dan dibiasakan untuk menuntun kepada capaian yang lebih besar. Mayoritas orang, direncanakan maupun tidak direncanakan, pasti menerapkan ini dalam beberapa aktivitas yang mereka lakukan, seperti di kantor, universitas, atau rumah. Ketika membuka aplikasi Microsoft Word mungkin, secara spontan langkah yang kita lakukan adalah dengan mengambil laptop dari tas, membuka layar, menekan tombol power, menunggu loading screen, dan membuka aplikasinya. 

Spontanitas tersebut tercipta karena terbiasa, dan ini merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk beberapa orang yang baru, dimana pada kasus ini adalah orang yang benar-benar gagap dalam teknologi (gaptek). Orang-orang tua dulu yang tidak pernah berkutat dengan hal-hal itu, pasti merasakan masa-masa sulit sehingga terdesak untuk beradaptasi dan memahami fungsional dari teknologi tersebut. Lalu, bagaimana jadinya kalau kali ini, strategi tersebut diterapkan untuk menggapai suatu resolusi yang lebih nyata guna memacu kapasitas dan meningkatkan kapabilitas dalam diri. 

Ambil contoh, resolusi tahun ini adalah ingin 'hidup lebih sehat'. Resolusi tersebut adalah tujuan superodinatnya. Maka untuk setiap orang yang hendak menjadi pribadi yang lebih sehat dan bugar, perlu beradaptasi terhadap beberapa tujuan subordinat berupa kebiasaan-kebiasaan kecil yang beroritentasi pada resolusi tersebut, misalnya rutin berolahraga, diet sehat, tidak mengonsumsi dirty food, dan sebagainya. Termasuk juga printilan-printilan yang lebih kecil sebagai pendukung tujuan subordinat sebelumnya, seperti menyusun agenda dan pola olahraga, menentukan jadwal dan menu makan, serta cara membeli dan mengolah bahan makanan. Semua hal tersebut harus disiapkan dengan baik sehingga tercipta tujuan-tujuan bertingkat yang terarah.

"Perjalanan menuju cita-cita jangka panjang bagaikan estafet, perlu menggapai ataupun terjatuh dari hal-hal kecil dahulu, sebagai aspek pendukung untuk meraih kemenangan yang lebih besar"

Strategi ini membantu kita memetakan secara terang tujuan yang ingin dicapai dalam setahun kedepan. Di sisi lain, strategi tersebut juga dapat memudahkan kita dalam menentukan resolusi yang lebih terukur (measurable), mudah dicapai (achievable), relevan (relevant), dan realistis terhadap waktu (time-bond), sehingga cita-cita bukan lagi hanya sebagai angan belaka. Tidak sedikit penyebab kegagalan seseorang dalam 'pengejaran', dikarenakan ekspektasi yang dibangun kurang realistis dan relevan terhadap kapabilitas yang dimilikinya. Kondisi tersebut seringkali memicu everyday disengagement goals pada beberapa bab kehidupan dalam proses perjalanannya.

Memang proses yang ditempuh sangat panjang. Dibutuhkan atensi dan motivasi di tiap tantangan yang dihadapi agar tetap teguh pada komitmen yang sudah repot-repot ditentukan sedari awal. Oleh karenanya, setiap kalian menyerah atau muncul keputusasaan terhadap komitmen, segera berdiri dan kembali ke jalur yang semestinya, tanpa harus menanti momen pergantian tahun. Jika tidak, maka yang termakbul bisa tiga: menata ulang resolusi yang sudah ada, menyusun kembali resolusi yang baru, atau kecewa lalu tidak menghendaki resolusi lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun