Pendahuluan
Apakah Anda pernah merasa sulit menolak makanan yang lezat, meskipun sudah kenyang? Atau apakah Anda pernah merasa tidak suka dengan makanan tertentu, meskipun orang lain menganggapnya enak? Jika ya, Anda mungkin tidak sendirian. Selain kita semua memiliki preferensi makanan kita masing masing, ada juga yang hanya ingin makan 1 jenis makanan saja hingga menimbulkan Adiksi. Adiksi yang berlebihan bisa menyebabkan banyak gangguan atau penyakit salah satunya adalah Obesitas. Mari kita bahas satu persatu dalam kesempatan ini tentang Pilihan makanan, Adiksi dan juga Obesitas.
Perkenalkan nama saya Abbiyu seorang mahasiswa Psikologi di bumi biru, Universitas Brawijaya. Dalam kesempatan ini saya ingin memperkenalkan “Makan” dari sudut pandang Psikologi dan juga dengan bantuan ilmu neuroscience. Makan adalah kebutuhan semua makhluk hidup kata “Makan” biasanya berdampingan dengan kata “Minum”, dua hal ini juga dibahas dalam Psikologi. Dalam bab Makan, Tidur dan Sex pada mata kuliah biopsikologi dijelaskan bahwa hal tadi merupakan tiga fungsi fisiologis penting dalam tubuh manusia yang berperan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan menjaga kelangsungan hidup serta keseimbangan biologis.
Beralih ke pertanyaan di atas tadi, kira kira mengapa manusia bisa memiliki perbedaan preferensi makanan? dan mengapa mereka bisa kecanduaan untuk makan hal yang mereka inginkan?, mari kita bahas bersama di tulisan kali ini.
Pemilihan makanan
Bagaimana kita memilih apa yang akan dikonsumsi? Keadaan psikologis pengambil keputusan dan lingkungan dari situasi saat memilih mempengaruhi apa yang akan dimakan. Ketika kita tersesat dalam ekspedisi hiking dan hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki makanan, pengambilan keputusan kita akan berbeda dengan ketika kita berada di food court besar dengan berbagai macam kemungkinan. Selain itu, faktor internal seperti stres, rasa lapar, dan suasana hati yang buruk juga akan mempengaruhi[1].
Beberapa bidang ilmu memiliki keyakinan yang sama bahwa representasi subjektif dari "Value" berfungsi sebagai panduan untuk pengambilan keputusan. Nilai, utilitas, dan efisiensi adalah contoh dari ide ekonomi yang menawarkan dasar yang kuat secara fisiologis untuk mengkarakterisasi berbagai jenis perilaku pengambilan keputusan. Menerima reward dan menghindari punishment dapat dilihat sebagai tujuan terdekat yang, jika dicapai, cenderung meningkatkan kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi dalam hal pengambilan keputusan berbasis value[2].
Menurut sudut pandang neuropsychology, makanan tidak hanya berfungsi sebagai sumber energi dan nutrisi bagi tubuh, tetapi juga sebagai sumber kenikmatan dan kepuasan bagi otak. Otak memiliki sistem reward yang terdiri dari beberapa struktur dan neurotransmiter, seperti dopamin, yang berperan dalam mengatur motivasi, emosi, dan pembelajaran. Ketika kita makan makanan yang kita sukai, sistem reward ini akan aktif dan memberikan rasa senang dan bahagia. Namun, jika kita makan makanan yang kita tidak sukai, sistem reward ini akan kurang aktif dan memberikan rasa tidak nyaman dan tidak puas.
Area otak yang bertanggung jawab untuk mengkodekan nilai selama konsumsi-sering disebut sebagai nilai " experienced," "outcome," atau "liking"-tumpang tindih dengan impuls saraf yang mengkodekan nilai pada saat pengambilan keputusan. Mereka mungkin bekerja bersama-sama dengan daerah otak lain yang bereaksi terhadap isyarat yang berkaitan dengan makanan dan reward lainnya, terutama yang utama, termasuk amigdala dan insula. Selain itu, isyarat sensorik-khususnya rasa dan aroma makanan yang benar-benar menggugah selera-memiliki dampak yang signifikan terhadap aktivitas di wilayah ini.
Pada tingkat neurotransmitter, sistem dopaminergik tampaknya memainkan peran penting dalam mengkodekan nilai pada saat memilih. Neuron dopaminergik di otak tengah terkenal dengan perannya dalam hal hedonis, motivasi, dan penguatan. Misalnya, makan makanan yang enak akan meningkatkan nilai makanan tersebut dalam sistem memori otak ketika rasa makanan tersebut menyenangkan atau lebih baik dari yang diantisipasi. Hal ini menyebabkan dopamin dilepaskan. Seseorang mungkin terbiasa memilih Tahu bulat daripada sayur bayam setiap hari di siang hari karena peningkatan sinyal dopaminergik yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang menggugah selera.
Ini menunjukkan bahwa pemberian sinyal dopamin memiliki peran yang lebih penting pada individu untuk makanan tertentu yang bermanfaat dan, dengan demikian, dalam menentukan nilai yang dimau daripada dalam mengingat kenikmatan rasa dari mengonsumsi makanan yang bermanfaat dan, akibatnya, dalam menentukan nilai hasilnya.
Adiksi alias Kecanduan
Dalam deskripsi klinis dari pola makan yang tidak normal, kecanduan makanan adalah masalah yang sering muncul. Namun, kecanduan makanan belum diakui sebagai gangguan makan (eating disorder) dan tidak termasuk dalam kriteria diagnosis DSM-5 atau ICD-11. Kecanduan makanan dapat dianggap sebagai gangguan perilaku yang berkaitan dengan kontrol inhibitori dan reward otak dalam psikologis dan neuroscience. Jika seseorang mengalami kecanduan makanan, mereka dapat mengonsumsi makanan tertentu secara berlebihan dan tidak dapat menghentikannya, meskipun ini dapat berdampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan mereka. Faktor-faktor lingkungan, emosional, dan kognitif yang berkaitan dengan makan juga dapat menyebabkan kecanduan makanan[3].
Obesitas
Merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama. Penilaian makanan sangat penting untuk keputusan kita sehari-hari tentang apa yang akan dimakan. Obesitas dan masalah makan sering kali dihubungkan dengan penilaian makanan yang tidak berfungsi.
Perspektif adiksi menunjukkan bahwa makanan tertentu, terutama yang tinggi kalori, gula, lemak, dan garam, dapat menyebabkan reaksi otak yang mirip dengan reaksi terhadap zat adiktif, seperti dopamin. Akibatnya, seseorang dapat mengkonsumsi makanan terlalu banyak dan tidak dapat menghentikannya meskipun dampak negatifnya pada kesehatan mereka[4].
Referensi:
Motoki, K., & Suzuki, S. (2020). Extrinsic factors underlying food valuation in the human brain. Frontiers in Behavioral Neuroscience, 14, 131.
Plassmann, H., Schelski, D. S., Simon, M. C., & Koban, L. (2022). How we decide what to eat: Toward an interdisciplinary model of gut–brain interactions. Wiley Interdisciplinary Reviews: Cognitive Science, 13(1), e1562.
Constant, A., Moirand, R., Thibault, R., & Val-Laillet, D. (2020). Meeting of minds around food addiction: insights from addiction medicine, nutrition, psychology, and neurosciences. Nutrients 12 (11): 3564.
Potenza, M. N. (2014). Obesity, food, and addiction: emerging neuroscience and clinical and public health implications. Neuropsychopharmacology, 39(1), 249.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H