Mohon tunggu...
Angga Bagus Bismoko
Angga Bagus Bismoko Mohon Tunggu... Peneliti di Pusat Penelitian Sumber Daya Regional - LIPI -

Seseorang yang sedang bekerja sebagai pencari masalah dan mencoba memberikan solusi atas permasalahan itu. Sedang tertarik mendalami politik ekonomi internasional dan isu ketahanan pangan di Asia Tenggara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penawaran Bukanlah Pemaksaan (Fenomena Sosial)

22 Mei 2017   17:25 Diperbarui: 22 Mei 2017   20:06 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penawaran atau Pemaksaan? Sebagian dari kita tentu sering mendengar istilah ini dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyadari pula bahwa keduanya memiliki perbedaan, meski juga terdapat kesamaan pada beberapa unsur dalam penggunaannya. Hal yang seringkali salah kaprah terjadi di sekitar kita yaitu sesuatu yang secara alamiah harusnya ditawarkan, kerapkali menjadi bentuk pemaksaan pada akhirnya. Ironisnya, penawaran dapat menjadi pemaksaan tidak hanya berbentuk barang, namun juga gagasan atau pemikiran. Entah disadari atau tidak oleh “pelaku”, namun perubahan konteks inilah yang seringkali menimbulkan permasalahan bahkan kebencian. Mari kita mulai diskusi dengan menjabarkan pengertian masing-masing kata tersebut.

Di bidang ekonomi, istilah penawaran seringkali dikaitkan dengan hukum permintaan dan penawaran atas suatu barang/jasa yang diproduksi oleh masyarakat. Bagi Saya, konsep penawaran dalam hal ini merujuk pada sejumlah barang yang diproduksi dan dijual di masyarakat pada harga tertentu. Pada tingkat harga yang disepakati, maka penawaran akan bertemu dengan permintaan sehingga terjadilah proses jual beli. Sejauh ini, tidak ada yang menunjukkan cikal bakal terjadinya masalah diakibatkan oleh kata ini.

Perubahan fungsi dari kata penawaran itu yang seringkali menyebabkan masalah, siklusnya semacam ini: penawaran – tawar – tawar-menawar. Meski berasal dari kata dasar yang sama yaitu tawar. Namun implikasinya pada suatu proses sangatlah berbeda. Penawaran mengandung makna bahwa seseorang pemilik barang (penjual) sedang menawarkan barang yang dijual kepada calon pembeli. Jika sepakat, terjadilah jual beli sepert yang telah disebutkan sebelumnya. Namun jika tidak, ada mekanisme tawar yang kali ini dikendalikan oleh si calon pembeli. Calon pembeli menawarkan harga tertentu atau mekanisme pembayaran tertentu untuk disepakati kedua pihak, dengan catatan tentu si calon pembeli benar-benar berminat atasnya. Kembali lagi, jual beli berlangsung secara cepat jika harga yang diajukan cukup rasional bagi si penjual dalam arti masih memberikan untung baginya. Akan tetapi, tidak demikian jika dalam mekanisme ini juga gagal terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli. Mekanisme selanjutnya yaitu tawar-menawar, pada tahap ini seringkali tidak terjadi kesepakatan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pihak penjual merasa dirugikan dengan harga atau mekanisme pembayaran yang diajukan oleh pihak pembeli. Pun demikian halnya dengan pihak pembeli yang tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan, seringkali terdapat pemikiran harga yang diajukan terlalu tinggi untuk kualitas barang yang ditawarkan. Jika sudah demikian, jangankan keduanya diuntungkan, masing-masing pihak akan dirugikan pada akhirnya. Tidak ada satupun yang mengalah, atau lebih tepatnya masing-masing memilih untuk menikmati keuntungan yang besar alih-alih membaginya.

Mekanisme tawar-menawar inilah seringkali berujung pada pemaksaan. Sudah berubah secara utuh kata dasarnya dari tawar menjadi paksa. Suatu perbuatan memaksa cenderung menekan dan bersifat represif sehingga tidak sedikit menimbulkan sikap tercela dari yang mendapat paksaan. Tidak sedikit paksaan yang berbuah kebencian bahkan respon negatif berupa tindakan fisik yang tidak tanggung-tanggung. Sudah banyak kita saksikan wujudnya dari lingkungan kita sehari-hari. Pada akhirnya, tidak ada pihak yang benar-benar diuntungkan, malah semakin buntung.

Hal serupa juga terjadi dalam hal ide atau gagasan. Penawaran ide sekalipun sangat baik dalam tujuannya, seringkali berakhir dengan pemaksaan yang bersifat sepihak. Pemaksaan ide seringkali terjadi bersifar vertikal dari atasan ke bawahan di suatu institusi, meskipun tidak sedikit pula yang terjadi secara horizontal dalam suatu diskusi penentuan kebijakan antar manajer atau pimpinan. Dalam perjalanannya, gagasan yang lebih bersifat pemaksaan dalam proses penyampaiannya seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya atau berakhir dengan konflik dan rasa hormat yang terkikis.

Pada hakikatnya ada aturan main yang harus dipatuhi dalam melaksanakan penawaran gagasan maupun barang/jasa. Aturan main yang sederhana namun seringkali sulit untuk diterapkan. Jika diterapkan, barang/jasa maupun gagasan tidak akan pernah masuk dalam ranah paksaan yang merugikan. Aturan main itu adalah bahwa dalam proses melakukan penawaran. Si empunya ide atau barang, haruslah paham ruang lingkup yang menjadi domainnya beraksi. Mengemas suatu ide atau barang agar dapat diterima “manfaatnya” oleh calon pembeli atau penerima ide adalah poin kunci yang harus dimaksimalkan. Sementara itu, mereka (pemilik ide/barang) haruslah sadar betul bahwa barang atau ide yang ditawarkan akan selalu memiliki kemungkinkan untuk mendapatkan respon negatif bahkan penolakan semena-mena. Jika sudah paham atas konsekuensi ini, berpikir positif akan selalu menjadi penghubung yang tepat sebagai bagian untuk proses perbaikan ide atau barang, bahkan mungkin hanya soal penyampaian dalam menawarkan.

Di akhir, perang gagasan bukanlah memaksakan secara sepihak, namun belajar untuk menyampaikan gagasan yang bagus, namun juga dapat diterima dan dijalankan oleh setiap pihak. Perang gagasan juga bukan upaya ngotot untuk memaksakan diri agar diterima, namun memaksimalkan diri agar ide diterima dengan memberikan kesan yang baik dan ramah dalam menyampaikannya. Ya, tidak sedikit ide atau barang yang diterima oleh masyarakat bukan karena kualitasnya, melainkan hanya berbekal dari kekaguman atas cara santun orang yang menawarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun