Mohon tunggu...
Muhamad Habib Koesnady
Muhamad Habib Koesnady Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Teater

Mempelajari Seni

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Festival Teater: Apakah Seni (Tidak) Dapat Dilombakan?

6 Juni 2023   13:44 Diperbarui: 6 Juni 2023   13:52 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Christie sbg Dora dalam "Atas Nama Keadilan" karya Albert Camus, Sutradara Fathul A. Husein (Neo-Theater Indonesia | Festival Wahyu Sihombing 2017)

Argumen pertama Christie dimulai dengan menganggap penggunaan kata 'festival' adalah salah kaprah. Menurutnya festival berbeda dengan lomba dan dua kata tersebut tidak dapat dipertukarkan karena memiliki perbedaan yang spesifik. Festival bukanlah tempat untuk memperbandingkan sebuah karya dengan karya lain dengan cara menganggap yang satu lebih baik daripada yang lain, apalagi sampai dibuat pemeringkatan.

Sedangkan, lomba sebaliknya, semua karya dinilai satu persatu secara rigid dengan menggunakan mekanisme penilaian yang relatif adil. Tujuan dari lomba adalah mencari yang terbaik dari semua karya yang dilombakan. Artinya ada pemeringkatan/ranking yang memang disengaja sejak awal. Entah sejak kapan, banyak acara yang dinamai festival namun di dalamnya berisi lomba. Sebut saja Festival Teater Jakarta, Festival Film Indonesia, dst.

Festival adalah pesta (berasal dari kata festa) di mana semua karya ditampilkan tanpa ada keharusan melakukan pemeringkatan dan dengan tujuan untuk menampilkan keunikan dari tiap karya. 

Festival yang berarti pesta memang tidak berarti lomba. Tetapi, sebetulnya tidak ada pelarangan lomba di dalam sebuah festival. Bisa saja ada sebuah lomba dalam sebuah pesta/festival. Masalahnya adalah ketika definisi festival---yang berarti pesta, direduksi hanya menjadi sekadar lomba.

Christie sbg Lucky dalam
Christie sbg Lucky dalam "Godot Menunggu (Godot)" rekonstruksi karya Samuel Beckett, sutradara Rachman Sabur (Teater Payung Hitam | 2019) 

Seni kok Dilombakan?

Argumen selanjutnya yang lebih substansial adalah "seni kok dilombakan?". Artinya Christie beranggapan bahwa bahwa seni tidak bisa dilombakan. Christie tidak menyarankan untuk mengubah kata "festival" dalam FTR menjadi "lomba" atau "sayembara" akan tetapi tetap melanjutkan FTR namun dengan format festival yang bukan-lomba. 

Saya berasumsi Christie (dan beberapa teman lain) memang ingin mengganti lomba bukan karena definisinya yang kurang tepat, tetapi karena memang memiliki keyakinan bahwa seni tidak bisa dilombakan. Keyakinan tersebut yang mendorongnya mencari argumen lain untuk mendukung keyakinannya, seperti argumen tentang definisi festival.

Kemudian saya jadi bertanya, memang kalau lomba (dalam konteks seni) masalahnya di mana? Saya anggap masalah yang muncul jika seni dilombakan ada pada cara menilai/memeringkat. 

Apakah ada dasar objektif yang dapat digunakan dalam menilai sebuah karya seni? Jika dalam pertandingan sepak bola, sudah menjadi jelas, pemenang adalah kelompok yang berhasil memasukan bola sebanyak mungkin ke gawang lawan---tentu dengan aturan main yang sudah disepakati. 

Jika dalam lomba lari, pelari tercepat sampai di garis finish adalah pelari terbaik. Semua aturan disepakati lalu, dengan mata telanjang kita bisa melihat secara gamblang siapa yang lebih baik dari siapa. Semua relatif pasti. Lalu bagaimana perlombaan dalam seni?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun