*tulisan ini ditulis untuk kolom opini guru di majalah Kertas edisi ke-7 yang diterbitkan oleh Ekstrakurikuler Jurnalistik SMKN 13 Jakarta.
Dalam menghadapi Pandemi Covid-19, dunia pendidikan di Indonesia mengalami masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama hampir 2 tahun. Setidaknya itu yang dirasakan di SMKN 13 Jakarta—mungkin setiap daerah punya durasi PJJ yang berbeda-beda. Selama PJJ, tentu saja seluruh civitas academica, entah itu guru maupun pelajar, dipaksa beradaptasi dengan sangat cepat. Semua dipaksa untuk menggunakan teknologi sebagai media dalam melakukan pembelajaran. Tidak mungkin tidak, karena itu satu-satunya jalan untuk tetap berinteraksi.
PJJ tentu saja memiliki dampak yang signifikan dalam pola belajar maupun mengajar. Ibu bapak guru mempersiapkan materi secara digital. Ada yang menggunakan Google Meeting, Google Classroom, membuat Presentasi Powerpoint lalu dijelaskan di Google Meeting, membuat video pembelajaran hingga mengkombinasikan materi-materi yang tersedia di internet. Materi-materi yang bersifat teori cenderung lebih mudah diajarkan dibanding praktik.
Dalam hal materi teori/pengetahuan, mesin pencarian seperti Google sudah sangat dekat dengan anak-anak, bahkan jauh sebelum pandemi. Membuka Google jika kepo terhadap sesuatu sudah menjadi habitus anak-anak di Generasi Z (usia 10-25 tahun). Anak-anak dapat berselancar di internet untuk mencari tahu tentang apa yang ingin mereka tahu. Kuncinya adalah apa yang ingin mereka tahu alias kepo. Lalu, pertanyaannya adalah: apakah sebuah materi/mata pelajaran sudah cukup memantik rasa kepo anak-anak untuk beselancar di internet dengan intens?
Setelah itu, muncul pertanyaan, bagaimanakah dampak positif/negatif penggunaan gadget yang intens tersebut? Saya balik bertanya, masih relevan kah dikotomi “positif” dan “negatif” digunakan dalam menilai segala fenomena yang ada? Masih relevan kah melihat sesuatu dengan cara hitam-putih? Bukankah ada hal abu-abu yang tidak termasuk hitam maupun putih. Bahkan ada warna lain seperti merah, hijau, jingga, violet, dsb. Jangan-jangan cara pandang hitam-putih membuat kita jadi “buta warna”.
Saya sebagai guru yang banyak mengajar mata pelajaran praktik, cukup memutar otak, bagaimana cara mengajar praktik teater tetapi tidak bertemu secara langsung. Sedangkan, hakikat dari teater/seni pertunjukan adalah pertemuan langsung. Teater adalah seni yang mewajibkan penonton & penampil bertemu dalam satu waktu. Di luar itu, materi-materi praktik teater juga membutuhkan intensitas latihan yang cukup. Analoginya seperti orang yang ingin belajar naik sepeda. Orang tersebut bisa saja membaca, menguasai bahkan menghafal buku “Tata Cara Naik Sepeda”, tetapi jika belum pernah bertemu, menyentuh & mencoba benda yang bernama sepeda, maka orang itu dijamin tidak akan bisa naik sepeda. Begitupun teater, saya bisa saja menjelaskan panjang kali lebar, apa dan bagaimana teater itu. Jikapun ada anak yang mampu menyerapnya seratus persen, anak tersebut tetap tidak akan bisa bermain teater. Karena tidak pernah bertemu, menyentuh & mencoba benda bernama teater.
Akhirnya, yang saya lakukan adalah menggunakan semaksimal mungkin media teknologi untuk melakukan aktivitas teater. Saya melakukan negosiasi terhadap keilmuan teater, yang tadinya mengharuskan pertemuan langsung, tetapi dalam konteks pandemi, teater beralih menggunakan media digital seperti video dan/atau siaran langsung. Perlu diketahui, ini juga terjadi di seluruh dunia. Genre Film-Teater menjadi genre yang populer karena dianggap sebagai “jalan keluar” dari keterbatasan pertemuan yang dialami dunia teater. Selain itu, konsep siaran langsung (serta penggunaan kamera 360 derajat) juga populer, meskipun yang ini memerlukan perangkat dan koneksi internet yang sangat baik.
Video (non-streaming) menjadi pilihan, mengingat siaran langsung membutuhkan sinyal & perangkat pendukung yang lebih rumit. Akhirnya anak-anak bisa melakukan/mencoba-coba teater dengan proyek akhir membuat video karya. Misalnya, di kelas 10 pada Mata Pelajaran Dasar Pemeranan anak-anak membuat minimal 2 proyek karya: Pantomim & Drama Audio. Lalu proyek tersebut dipublikasikan di Instagram mereka masing-masing dan saya mengambil posisi sebagai penonton konten mereka, termasuk melihat umpan balik yang ada di kolom komentar.
Sebetulnya bisa saja saya melakukan ujian karya dengan Zoom ataupun Google Meeting. Namun, saya rasa ada yang kurang, yaitu penonton. Jika karya tersebut hanya ditampilkan untuk ujian, untuk saya sebagai penilai, maka hakikat karya seninya akan berkurang. Oleh karena itu, saya memutuskan karya mereka harus ditampilkan di publik (sosial media mereka sendiri) karena respon penonton menjadi pembelajaran penting dan dapat melatih jiwa performer anak-anak Jurusan Pemeranan/Teater. Proyek video tersebutlah yang menjadi semacam jalur alternatif untuk tetap belajar teater di masa pandemi.
****
Pandemi yang berangsur membaik membuat kita kembali ke sekolah. Rasanya, seorang guru hanya butuh sedikit penyesuaian untuk kembali pada rutinitas mengajar. Lalu, yang menjadi soal, apakah segala rutinitas yang dilakukan sebelum pandemi, masih relevan dilakukan setelah pandemi? Pertanyaan yang saya ajukan pada diri saya sendiri ini dipantik oleh pengalaman semasa pandemi yang membuat semua orang memiliki habitus yang baru. Apakah kita harus kembali ke kebiasaan yang lama dan “beradaptasi” kembali untuk menjadi “kita yang lama”; kita yang sebelum pandemi? Atau, kebiasaan-kebiasaan baru yang dilakukan ketika pandemi dapat diteruskan, disesuaikan dengan konteks yang baru?