Begitulah yang terjadi pada siswa di kelas teater. Setidaknya di kelas yang saya ajar tahun lalu. Banyak siswa yang berharap menemukan kepastian matematis dari seni (dalam hal ini teater).Â
Mereka mengira bahwa teater hanyalah matematika dari bahasa yang dilakukan. Mereka mengira bahwa semua yang terjadi di atas panggung dapat dihitung secara matematis: jumlah langkah kaki, ayunan tangan, arah hadap, level emosi, bahkan jumlah air mata yang menetes. Mereka mengira bahwa ada kepastian yang mutlak dalam teater. Tidak mengenal intuisi.
Bahkan jauh lebih rumit dari itu karena bias-bias teater yang ada dalam kehidupan sehari-hari begitu sporadis seperti belajar jadi kayak orang gila. Sampai di sini, saya jadi berpikir sulit betul jadi pengajar teater di perguruan tinggi seni. Karena selain mengajarkan teater betul-betul dari nol---bahkan dari minus, karena yang diketahui kerap keliru; mereka juga harus menjaga mahasiswanya agar tetap waras.
Belum Saya Temukan Kampus Pendidik(an) Teater
Menurut kurikulum 2013 di tingkat menengah, dalam pelajaran Seni Budaya terdapat empat cabang seni: Seni Rupa, Musik, Tari & Teater. Tetapi, sialnya tidak ada (baca: saya tidak tahu) pendidikan tinggi yang melahirkan guru teater.Â
Kalau kita mencari Sarjana Pendidikan Seni Rupa, Musik ataupun Tari, dengan mudah kita bisa temukan mereka di kampus pendidik(an) macam UPI, UNJ atau UNY. Tapi jika kita butuh Sarjana Pendidikan Teater, ada di manakah mereka? Adakah mereka? Saya belum pernah menemukannya.
Pada tingkat Pendidikan Tinggi, yang ada hanya Sekolah Seni seperti ISI, ISBI atau IKJ yang memiliki Prodi Teater. Bedanya apa? Dalam Prodi Teater, mahasiswa mempelajari teater dari sudut pandang teater; sudut pandang seni. Lulusannya diharapkan dapat menjadi seniman atau pelaku industri seni.Â
Sedangkan pendidikan teater di tingkat menengah dan dasar butuh perspektif lain, yakni perspektif pendidikan. Kampus pendidikan teater harus melahirkan pendidik teater untuk tingkat dasar ataupun menengah dengan asumsi teater dapat berkontribusi bagi pertumbuhan manusia dalam perspektif pendidikan.Â
Secara lugas, mungkin bedanya adalah prodi teater mempelajari materi teater lebih banyak dan murni sebagai seni; sedangkan prodi pendidikan teater mengurangi porsi materi teater dan diganti dengan materi tentang perspektif pendidikan dalam teater serta perspektif teater dalam pendidikan.
Tahun 2015 saya bersama teman-teman angkatan pernah mengadakan seminar teater berjudul "Dididik Teater[?]". Kurang lebih seminar tersebut membahas tentang peran teater dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan tingkat SMA.
Salah satu pembicaranya adalah Deden Rengga. Beliau adalah dosen pendidikan seni tari di Universitas Negeri Jakarta. Kalau tidak salah, beliau juga salah satu perumus kurikulum teater di tingkat SMP dan/atau SMA. Saat itu beliau sedang mengambil program doktoral teater di Institut Seni Indonesia.