pemerintah dalam mengelola masyarakat sering kali menjadi sorotan, terutama ketika kebijakan yang diambil tidak sejalan dengan kepentingan rakyat. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana kekuasaan negara dapat memicu reaksi publik. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga menimbulkan ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat.
KekuasaanPada September 2022, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan harga BBM, dengan Pertalite yang sebelumnya Rp7.650 per liter naik menjadi Rp10.000, solar subsidi dari Rp5.150 menjadi Rp6.800, dan Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500. Keputusan ini diambil untuk menjaga keuangan negara yang semakin tertekan akibat subsidi BBM yang tidak merata; sekitar 70% dari subsidi tersebut dinikmati oleh kelompok masyarakat yang lebih mampu. Meskipun pemerintah berpendapat bahwa langkah ini diperlukan untuk mengurangi beban anggaran, dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat melalui kenaikan biaya hidup, termasuk harga barang pokok dan transportasi.
Kenaikan harga BBM berpotensi memperburuk inflasi yang sudah mencapai 5,2% pada saat itu, dengan perkiraan bahwa inflasi dapat meningkat hingga 1,7% akibat penyesuaian harga tersebut. Hal ini membuat daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, semakin tertekan. Banyak yang harus menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, termasuk pangan dan transportasi.
Sebagai respons terhadap kebijakan ini, aksi protes massal terjadi di berbagai daerah. Mahasiswa dan pekerja turun ke jalan untuk menuntut pemerintah agar mempertimbangkan kembali kebijakan yang mereka anggap tidak adil. Aksi tersebut mencerminkan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi kekuasaan pemerintah dan menuntut akuntabilitas atas keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Protes ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima kebijakan, tetapi berusaha untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Namun, selama pemerintahan Joko Widodo, respons pemerintah terhadap demonstrasi cenderung represif. Hal ini dapat mempersempit ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan mereka.
Setelah gelombang protes tersebut, pemerintah mulai melakukan dialog dengan berbagai elemen masyarakat untuk mencari solusi yang lebih baik. Beberapa penyesuaian kebijakan dilakukan untuk meringankan beban rakyat, seperti pengalihan subsidi BBM menjadi bantuan langsung tunai (BLT) bagi keluarga kurang mampu. Meskipun langkah ini mendapatkan kritik sebagai solusi sementara yang tidak menyelesaikan masalah mendasar, setidaknya ada upaya untuk merespons suara masyarakat.
Pentingnya transparansi dan komunikasi antara pemerintah dan rakyat menjadi jelas dalam situasi ini. Dialog yang konstruktif dapat membantu menghindari ketegangan lebih lanjut dan menciptakan kebijakan yang lebih seimbang dan adil bagi semua lapisan masyarakat.
Kisah kenaikan harga BBM di Indonesia menggambarkan betapa pentingnya kekuasaan dijalankan dengan transparansi dan perhatian terhadap suara rakyat. Partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan sangatlah penting agar kebijakan yang dihasilkan dapat lebih seimbang dan tidak menimbulkan konflik berkepanjangan. Pemerintah perlu mendengarkan aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat banyak, bukan hanya segelintir orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H