Mohon tunggu...
Abdul Aziz
Abdul Aziz Mohon Tunggu... Jurnalis - Policy Communicator

ASN pada Kementerian Keuangan. Memiliki latar belakang Ekonomi dan bekerja untuk menyampaikan kebijakan publik yang searah dengan mimpi bersama Bangsa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Negara Rawan Bencana Alam, Pemerintah Rancang Anggaran Siaga Bencana

27 Januari 2019   00:15 Diperbarui: 4 Februari 2019   09:18 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tren jumlah bencana / grafik: venggi

Malam itu cuaca masih terlihat normal. Semua orang beraktivitas seperti biasa di bibir Pantai. Namun siapa sangka menjelang tengah malam, Tsunami tiba-tiba meluluhlantakan daerah sekitar Pandeglang Banten dan Lampung Selatan. 

Kejadian tak terduga dan langka karena berasal dari longsoran vulkanik tersebut menjadi pengingat bahwa negara Indonesia memiliki potensi beragam jenis bencana alam yang menyebar di seluruh wilayah. Tak tanggung-tanggung, potensi risiko tersebut memiliki tingkat intensitas dan dampak kerugian yang masif.

Bantuan pemerintah untuk korban bencana alam nasional di Lombok / Foto: Irfan Bayu
Bantuan pemerintah untuk korban bencana alam nasional di Lombok / Foto: Irfan Bayu
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam jenis bencana alam yang menyebar di seluruh wilayahnya, dengan intensitas kejadian yang tinggi dan dampak kerugian yang masif. Indonesia termasuk dalam daftar 35 negara yang mempunyai risiko tinggi jatuhnya korban jiwa akibat berbagai jenis bencana alam. 

Untuk itu, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan melakukan upaya persiapan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.

"Belanja Pemerintah Pusat dalam APBN 2019 sebesar Rp1.634 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp855,4 triliun dan belanja non K/L sebesar Rp778,9 triliun. 

Selain itu, untuk mengantisipasi kebutuhan dana bagi kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana alam akan dibentuk pooling fund bencana yang bersumber dari APBN," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Konferensi Pers APBN 2019 beberapa waktu lalu.

Reformasi Kebijakan Pembiayaan Bencana
Nilai kerugian ekonomi akibat bencana besar tercatat sangat tinggi. Menurut data dari Nota Keuangan APBN 2019, gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias pada tahun 2004 mampu menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp41,4 triliun. 

Namun, Bank Dunia memperkirakan nilai kerugian tersebut hanya merepresentasikan 60 persen dari nilai kerugian secara riil. 

Kerugian ekonomi yang besar tersebut disebabkan antara lain oleh kualitas infrastruktur yang belum ramah bencana dan kebijakan pembiayaan bencana yang hanya terfokus pada pembiayaan pascabencana. Sementara kebijakan dan instrumen mitigasi dan transfer risiko masih sangat terbatas.

Tren jumlah bencana / grafik: venggi
Tren jumlah bencana / grafik: venggi
Menurut Kunta W.D. Nugraha, Direktur Penyusunan APBN (PAPBN) Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), APBN sendiri memang memiliki keterbatasan dalam pendanaan bencana.

Selama 12 tahun terakhir, alokasi APBN untuk Dana Cadangan Bencana rata-rata sekitar Rp4 triliun s.d Rp5 triliun per tahunnya. Di sisi lain, di masa tidak terjadi bencana katastropik, dana cadangan bencana belum termanfaatkan secara optimal. 

Menghadapi tantangan ini, Pemerintah berencana melakukan reformasi kebijakan pembiayaan risiko bencana dalam rangka meningkatkan ketangguhan Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta meningkatkan kemampuan untuk membangun kembali dengan lebih baik.

"Ke depannya kita juga sudah mulai memikirkan bagaimana kita bisa mengatasi bencana tadi dengan lebih teroganisir dan teratur tapi bebannya tidak semuanya melalui APBN," jelas Kunta.

Rata-rata kerugian ekonomi akibat bencana / grafik: venggi
Rata-rata kerugian ekonomi akibat bencana / grafik: venggi
Reformasi ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan bencana dalam jumlah besar, tepat waktu dan sasaran, lebih terencana, berkelanjutan dan transparan untuk mengurangi kerugian ekonomi dan beban APBN. 

Pembiayaan risiko bencana ini harus mampu pula untuk menjawab kebutuhan pembiayaan di masa tidak terjadi bencana dalam rangka mitigasi dan transfer risiko bencana, pembiayaan ketika terjadi bencana (tanggap darurat) dan pembiayaan setelah terjadi bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).

"Memang bencana di Indonesia itu banyak sekali, tiap tahun ada terus, sehingga kita juga sudah mulai melihat mengantisipasi ini dengan ada namanya cadangan bencana itu. Kalau ada suatu kejadian itu ada namanya dana on call yang lebih kepada untuk kondisi bencana seperti pertolongan darurat, kondisi kebutuhan sanitasi," ungkap Kunta.

"Itu biasanya 6 bulan. Nanti semuanya lewat BNPB, masuk ke sana. Tapi setelah itu, bisa 6-12 bulan itu namanya rehab-rekon setelah kondisi bencana, seperti membangun lagi jembatan dan sekolah. Itu juga pakai dana cadangan tadi. Namun ada juga K/L yang merealokasi anggarannya. Misalnya PUPR yang akan membangun jalan yang rusak. Ini yang dinamakan budget based. Ini adalah mitigasi bencana dari sisi APBN," tambah Kunta.

Anggaran Pooling Fund
Bencana alam berpotensi memberikan tekanan pada kesinambungan APBN. Untuk itu, perlu dikembangkan berbagai macam alternatif pembiayaan risiko bencana, baik dari segi sumber maupun pola pengalokasiannya. 

Dengan mempertimbangkan naiknya probabilitas kejadian bencana, meningkatnya nilai kerusakan dan kerugian akibat bencana dan perubahan iklim serta laju urbanisasi yang cepat, Pemerintah saat ini masih mengkaji kemungkinan meningkatkan keragaman dalam pilihan-pilihan pembiayaan risiko bencana termasuk melalui asuransi bencana, pinjaman siaga bencana, dan pooling fund.

Skema pooling fund ini direncanakan akan memperoleh modal dari APBN. Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB), Irfa Ampri, mengungkapkan bahwa modal awal telah dianggarkan sebesar Rp1 triliun dalam APBN 2019. 

"Jadi Rp1 triliun untuk shift capital-nya. Jadi nanti sumbernya dari APBN, setiap tahun nanti kita usulkan dana yang selama ini di tanggap darurat bisa sebagian langsung ke pooling fund ini. Kemudian yang dana tanggap darurat tadi kalau dia tidak terpakai selama ini kan kembali lagi ke negara, itu nanti akan masuk ke pooling fund ini. Jadi rencananya akan dapat rutin dan juga dapat sisa anggaran yang tidak terpakai," jelasnya.

Sumber dana penanggulangan bencana / grafik: venggi
Sumber dana penanggulangan bencana / grafik: venggi
Beberapa opsi pembiayaan antara lain melalui alokasi anggaran maupun realokasi anggaran di beberapa K/L terkait dan dana cadangan penanggulangan bencana yang dialokasikan pada Kementerian Keuangan yang dapat digunakan pada saat kejadian tanggap darurat (dana on-call) atau pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi (dana kontingensi). 

Apabila terjadi bencana, beberapa K/L seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan K/L lainnya akan melakukan realokasi anggarannya dalam rangka pembiayaan bencana. 

Selain itu, dalam rangka pembiayaan bencana pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan melalui pengalokasian anggaran pada K/L terkait pada tahun berikutnya dan/atau menggunakan bagian dari dana cadangan penanggulangan bencana.

Terkait hal tersebut, Irfa menjelaskan bahwa dana tersebut akan dikelola dan akumulasi dana dapat digunakan untuk membantu dalam kondisi tanggap bencana. "Dengan adanya pooling fund, kita berharap, tergantung kepada dana yang dimiliki oleh pooling fund, kita berharap bisa mengakselerasi tahap rehabilitasi rekonstruksi. 

Jadi yang tadinya harus nunggu sampai empat tahun baru dibangun semuanya, nah ini mungkin dalam satu dua tahun sudah bisa dibangun semuanya gitu. 

Sehingga pemulihannya menjadi cepat, ekonomi juga kembali aktif lebih cepat. Karena biasanya kalau terjadi bencana ya ekonomi langsung jatuh. Kita berharap itu tidak berlangsung lama karena kalau tidak pasti nanti angka kemiskinan akan meningkat" jelasnya.

Asuransi BMN
Dalam proses penyusunan strategi dan solusi pembiayaan bencana tersebut, Pemerintah memerhatikan beberapa faktor utama yang menentukan keberhasilan perumusan. 

Salah satunya adalah melalui pembagian atau pemisahan (layering) risiko dan kombinasi instrumen pembiayaan. Hal ini penting karena satu instrumen pembiayaan tidak akan mampu menjadi solusi bagi seluruh risiko bencana. 

Pemerintah akan menentukan risiko-risiko mana yang pembiayaannya ditanggung sendiri (retain), pembiayaan risiko yang di transfer, dan bagaimana memilih instrumen yang sesuai.

Untuk melakukan mitigasi risiko potensi kerugian dari bencana alam, pemerintah berinisiatif untuk melakukan trasfer risiko kepada pihak asuransi. 

"Jadi nanti asuransi yang sifatnya katastropik atau asuransi bencana. Itu bisa dilakukan oleh poolling fund. Jadi dia nanti berhubungan dengan investor luar. Jadi investor mancanegara atau pasar asuransi, biasanya akan direasuransi lagi," jelas Irfa. 

Menambahkan hal tersebut, Direktur PAPBN, Kunta juga mengungkapkan rencana piloting project asuransi bencana tersebut. Dalam APBN 2019, aset Kementerian Keuangan akan menjadi aset pertama yang akan diujicoba melalui skema asuransi bencana. 

"Untuk 2019 kita mulai mengasuransikan BMN atau barang milik negara. Ini akan di-piloting di Kementerian Keuangan. Jadi tiap tahun kita akan membayar premi untuk risiko yang akan terjadi akibat bencana. Tapi ini lebih ke arah rehab-recon atau untuk membangun kembali," ungkap Kunta.

"Kalau ada kejadian kita bisa dapat asuransi dari perusahaan asuransi. Ini pilotingnya di Kementerian Keuangan untuk BMN dari DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara). Gedung dan segala macam, termasuk mobil juga, tapi baru Kementerian Keuangan. Kalau sukses nanti akan diterapkan ke K/L lain," papar Kunta.

Mendukung program tersebut, Ahli Perekaya BPPT dan Kepala Bidang Mitigasi Persatuan Insinyur Indonesia mengungkapkan bahwa asuransi penting terutama untuk menghitung risiko. Risiko harus bisa dihitung dan diklarifikasikan menjadi biaya yang harus ditanggung oleh pihak ketiga dalam hal ini kerjasamanya adalah berupa asuransi.

Ada sektor-sektor publik atau komersial atau industri yang mungkin bisa, seperti perhotelan atau industrial yang ada di pantai dan lain-lain. Kemudian kita harus bekerjasama dengan semua stakeholder terutama dari K/L maupun dari pihak industri yang ada di sana, hotel-hotel dan lain-lain untuk bicara bareng-bareng. 

"Beberapa di tempat lain sudah jalan. Thailand, misalnya, untuk hotel itu ada satu dolar atau berapa dolar lah yang dibebankan ke pengunjung atau konsumen yang menginap di hotel. Dan mereka itu dibertahukan bahwa itu termasuk untuk asuransi gempa bumi atau tsunami. Dan mereka 'it's fine'. Tentunya program ini harus berkelanjutan," jelasnya.

Abdul Aziz - Pranata Humas pada Kementerian Keuangan

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap dan kebijakan instansi penulis bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun