Selain pertumbuhan ekonomi disokong oleh membaiknya peringkat kemudahan berinvestasi, ekonomi domestik juga dibuat cukup heboh dengan pelemahan nilai tukar Rupiah. Depresiasi yang terjadi dipicu salah satunya dari dinamika ekonomi global yang juga merupakan imbas dari kebijakan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS The Fed. Imbas ini tak hanya berdampak ke negara berkembang saja, namun juga ke hampir semua negara.
Imbasnya salah satunya ke sektor ekspor impor Indonesia yang menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi. Nilai impor barang dan jasa yang lebih besar dari nilai ekspornya menyebabkan kondisi yang disebut defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Namun demikian, Indonesia masih dianggap mampu bertahan lantaran memiliki fundamental ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.Â
Diwawancarai Media Keuangan beberapa waktu lalu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahazil Nazara, memaparkan di samping neraca transaksi modal dan finansial (capital account), neraca transaksi berjalan (current account) merupakan salah satu unsur pembentuk neraca pembayaran (balance of payment) dari suatau negara secara agregat.Â
Dalam posisi tersebut, tren tiga tahun terakhir posisi saldo neraca pembayaran Indonesia sebenarnya memiliki saldo yang positif. Namun demikian, kekhawatiran atas laporan defisit neraca transaksi berjalan semester pertama 2018 cukup memberi kontribusi terhadap sentimen depresiasi mata uang Garuda.
Memperbaiki CAD
Dalam mengatasi depresiasi rupiah akibat defisit neraca transaksi berjalan, Suahazil menjelaskan pentingnya keterlibatan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan kebijakan moneter sebagai kebijakan jangka pendek. Instrumen kebijakan yang bisa digunakan salah satunya melalui kebijakan suku bunga acuan.Â
Hal itu menjadi penting terutama dalam menanggapi kebijakan The Fed yang pada akhir September lalu menaikkan suku bunga kedua kalinya dalam tahun ini. Untuk menjaga ekspektasi pasar domestik, BI selaku otoritas moneter perlu mengatur suku bunganya melalui 7-day repo rate. "Kebijakan suku bunga tersebut sebagai bagian dari kebijakan moneter ditentukan secara independen oleh BI. Independen dari pemerintah," ungkapnya.
Dalam jangka panjang, struktur perekonomian dalam negeri juga perlu untuk diperbaiki. Inilah yang menjadi tugas utama pemerintah dalam membuat kebijakan struktural ekonomi. Menurut Suahazil, berkaca dari sumber masalah defisit neraca transaksi berjalan, pemerintah perlu melakukan beberapa kebijakan struktural yang dapat mengendalikan impor dan meningkatkan ekspor.
Selain PMK 131 tahun 2018, untuk mendorong industri, investasi dan ekspor, Menkeu juga menetapkan PMK 130 tahun 2018 tentang Kawasan Berikat. Peraturan ini dibentuk untuk mengatur antara lain kemudahan operasional pemasukan dan pengeluaran barang dengan memangkas 45 perizinan menjadi hanya 3 perizinan, proses pengurusan perizinan dilakukan secara online, kemudahan pelaksanaan subkontrak yang memungkinkan ekspor langsung dari Kawasan Berikat penerima subkontrak, dan pendelegasian wewenang pemberian perizinan dari kantor pusat ke unit vertikal. Aturan ini berlaku di seluruh kawasan berikat dan akan mempengaruhi 1.372 Kawasan Berikat.
Selain insentif fiskal, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) juga terus meningkatkan layanan kemudahan berusaha dengan cara melakukan simplifikasi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat dan KITE serta memperoleh Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), dan dalam melakukan registrasi kepabeanaan. DJBC juga telah menggagas perizinan online terintegrasi dengan sistem Online Single Submission (OSS). Upaya yang dilakukan oleh DJBC tersebut diharapkan makin mendorong peningkatan ekspor nasional.
Mengendalikan impor