Pak Subhan dengan semangat mengangkat HP miliknya untuk menjawab panggilan. Tentu saja semangat karena yang menelepon adalah orangtua Cekawood. Alhamdulillah setelah beberapa hari mereka sangat intens berkomunikasi via telepon. Selalu saja ada hal yang tidak  bisa dipecahkan masalahnya jika hanya melewati HP. mendingan bertatap muka secara langsung.
Pak Subhan memutuskan untuk mengundang ayahnya Cekawood ke sekolah. Berbicara empat mata lebih mantep. Bapaknya memang tinggal di daerah Bekasi yang dengan senang hati mengiyakan ajakan Wali Kelas anaknya. Walau harus menempuh perjalanan dua jam berkendaraan roda empat. Hanya satu yang diinginkan mereka yakni menemukan jawaban atas perilaku anaknya.
"Pak Subhan, saya sudah sampai di sekolah sepertinya beberapa menit lagi sampai di ruang guru", jelasnya dengan nada penuh harap.
"Siap Pak, kita ketemu di ruang tunggu saja ya. Ruangannya sebelahan dengan ruang guru", jawab Pak Subhan dengan nada serius bercampur senang hati. "Ya Allah semoga Engkau mudahkan urusan ini, demi menjaga amanah yang telah aku terima, dia anak didik ku", doa Pak Subhan dalam hatinya dengan penuh keyakinan.
"Alhamdulillah. Selamat datang di sini. Silakan duduk Pak Catur, kita ngobrolnya di ruang tunggu ya", sapa Pak Subhan menyambut kedatangan ayahnya Cekawood. Mereka pun bersalaman sangat erat seolah mereka sudah kenal lama sekali. Ada dorongan yang sama untuk segera selesaikan masalah.
Setelah mereka duduk sejenak dan nampak nyaman, serta terlihat lebih rileks raut wajahnya. Keduanya asyik berbincang seputar kejadian beberapa hari yang lalu.
"Pak Catur, maafin saya ya telah memaksa Bapak untuk hadir menemui saya", permohonan Pak Subhan membuka obrolan.
"Ga apa apa Pak Subhan, saya yang berterima kasih atas undangannya sehingga kita bisa silaturrahmi disini serta mudah-mudahan Allah kasih jalan keluarnya", balas ayahnya Cekawood tak kalah panjang ucapannya.
Sehubungan terbatas waktu diantara mereka, maka keduanya sepakat untuk to the point saja.
Pak Catur pun menuturkan kejadian demi kejadian. Mulai dari awal sampai hari itu anaknya belum kembali ke rumah. Â "Selama tiga hari empat malam tidak bisa dihubungi. Ditelpon langsung di rejeck, dan akhirnya hubungan via telepon diputus anak saya", kalimat terakhirnya. Wajah sedih nampak menyeruak di balik gerak-gerik tangannya.
Pak Subhan sambil memandang dan sesekali menganggukan kepala bahkan melongo menyimak paparan kejadian saking tak masuk akal. "Ini anak kok nekad ya", pikirnya dalam hati.
"Pak Catur, ananda Cekawood pergi pakai motor apa" ?tanya Pak Subhan karena tertarik dengan penuturan ayahnya Cekawood namun kayaknya ada yang ketinggalan.
Seolah terpancing kembali ingatan tentang kejadian itu, Pak Catur menjadi lebih semangat lagi bercerita kepada Pak Subhan. Wali Kelas anaknya seperti sudah menjadi teman sejatinya. Maka tumpahlah semua kisahnya. Pak Subhan kembali terdiam, sesekali menganggukan kepala tanda setuju bahkan melongo karena merasa kaget.
"Anakku pergi pake motor Vespa baru Pak, tidak bawa STNK, belum punya SIM, Kaca Spion pun ga ada, dilepas karena ga gaul katanya dan knalpot yang dibuka jadi suaranya bising. Sangat berisik kalau di jalan", jelasnya dengan nada agak berat dibarengi tarik napas dalam.
"Ini Pak yang bikin saya khawatir luar biasa, pergi tanpa bilang-bilang. Jujurnya entah berada dimana. Kayaknya dia pilih bohong saja daripada harus jujur. Memang kalau jujur ga akan diizinkan Mamanya. Apalagi sampai beberapa hari", tambahnya lagi.
Pak Catur nampak agak lesu, duduk agak kurang semangat. Tatapan mata mulai redup. Seakan ada beban di tubuhnya yang jangkung. Pak Subhan yang duduk di hadapannnya pun seakan terbawa cerita ayahnya Cekawood.
"Sekarang saya boleh berpendapat ya Pak Catur", pinta Pak Subhan dengan suara agak pelan. Merasa tak enak hati jika berbicara agak keras kepada ayah Cekawood yang sedang dirundung masalah.
"Saya menangkap ada empat hal yang menonjol dari sikap Cekawood, saya bukan memuji loh. Ini mah saya berusaha menilai secara obyektif".
Sebagai Wali Kelas, Pak Subhan membeberkan empat hal yang menurutnya adalah kekuatan dari Cekawood.
Pertama dia menyiapkan strategi berbohong kepada Mamanya. Dipelajari dari kebiasaan orang tua yang selalu melarang anaknya pergi main dengan jarak jauh. Disini berbohong menjadi keharusan.
Kedua memiliki kepercayaan diri yang kuat. Dengan sedikit berkelit, dia merasa PD sehingga memutuskan untuk main jauh antar kota. Juga bisa bakal kembali lagi dengan selamat.
Ketiga memiliki pertemanan yang hebat. Walau terpisah jarak, rasa itu masih kuat diantara mereka. Maka Cekawood percaya kepada teman-temannya bakal menerima dia dalam keadaan apa pun. Jika dikunjungi.
Keempat adalah dia punya kecerdasan yang berada di atas rata-rata. Kalau ga cerdas dia tidak akan mungkin melakukan tindakan konyol.
"Lah ..Pak Subhan malah menyanjung dia sih ?", tanya Pak Catur dengan nada agak sedikit menukik.
"Sekali saya bukan memuji, bukan pula menyanjung tapi belajar obyektif", jawab Pak Subhan masih dengan nada tenang.
"Pak Subhan, sudah jelas anak saya kabur dari rumah bahkan tidak pergi ke sekolah juga, ee malah dibela", tambahnya sambil badannya agak bangkit dari duduk. Kelihatan sangat kecewa dengan sikap Wali Kelas anaknya.
"Ibunya saja sampai nangis-nangis menunggu kabar anaknya. Kalau boleh dibilang nyaris ga tidur Pak, hanya ingin tahu kabar anaknya. Bapak malah menilai positif", tambahnya lagi sehingga kelihatan jelas kalau ayahnya Cekawood sudah panik. Ngomongnya mulai tidak terarah.
"Pak Catur, saya sebagai Wali Kelas hanya melihat dari sisi bapaknya di sekolah. Ingat loh,kita bicarakan yang jelek-jelek saja atau yang positifnya. Saya tidak mau membicarakan hal yang negatif.
Bapak yang sudah susah datang jauh dari Bekasi ke sini kalau hanya hal negatif saja yang dibicarakan, menurut saya sih tidak perlu", jelas Pak Subhan tandas walau hatinya ga enak bicara seperti itu namun dengan tenang hati dan kepala dingin dia sampaikan secara tuntas.
"Papahnya Cekawood sekarang mah tinggal bagaimana dia membiasakan jujur dengan orang tua, teman-temannya baik di rumah maupun di sekolah", Pak Subhan menambahi kata-katanya.
"Pak Subhan, kalau jujur ada sekolahnya ga sih?", secara tiba-tiba Pak Catur bertanya.
"Jujur ga ada sekolahnya Pak. Kalau sekolah kejuruan ada, sekolah mengemudi juga ada", Â jawab Pak Subhan mengalihkan suasana yang tadi agak kurang enak menjadi rilek kembali.
"Bapak bisa saja, Â memang sampai saat ini kejujuran ga ada sekolahnya ya Pak Subhan", timpalannya sambil menahan senyum karena Pak Subhan sudah mengajaknya berpikir positif dengan gaya bercanda.
Raut wajah Pak Catur nampak berbahagia setelah berbincang dengan Pak Subhan. Terlihat dari gaya duduk yang sudah kembali tenang dan omongannya mulai terarah.
"Pak Catur, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, karena ada jam ngajar sebentar lagi, maka boleh ya obrolan ini disudahi sampai disini. Mohon maaf atas kata-kata saya yang kurang sopan", pinta Pak Subhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H