Lomba makan kerupuk dalam ajang perayaan 17-an di setiap pelosok di Indonesia selalu ada. Tak akan terpisahkan dari jiwa raga anak negeri ini. Seperti makanan rujak serut dengan pisang batu. Pisang batu berasa sepet jika dimakan tunggal tapi dalam makanan rujak serut menjadi penambah rasa. Rasa sedap mengundang selera untuk menyantap.
Kerupuk diikat dengan tali kain. Digantung dengan tinggi menyesuaikan. Posisi sejajar supaya memudahkan panitia mengontrol tindakan peserta. Mereka yang punya tinggi badan kurang lebih sama akan bertanding. Terjadi perbedaan antara peserta laki-laki dengan perempuan.Â
Aturan main pun tak lupa dibacakan. Satu diantaranya adalah harus menjunjung tinggi kejujuran dan harus sampai selesai. Seluruh peserta lomba makan kerupuk sudah siap, lomba pun dimulai. Ya lomba makan kerupuk.
Penonton yang teman sendiri, disemangati secara spontan. Tepuk tangan seolah ajakan untuk tetap semangat menyelesaikan pekerjaan. Riuh rendah suara penonton sepanjang acara lomba makan kerupuk tiada henti. Sang pemenang yang telah berhasil menghabiskan kerupuk dan tercepat dinobatkan menjadi pemenangnya. Keriaan terlihat dari ekspresi wajah peserta maupun penonton.
Pemenang dipanggil ke depan untuk menerima hadiah dari panitia. Hadiah pun sangat sederhana. Kalau pun beli di warung, harganya amat terjangkau.
Apa sih makna lomba makan kerupuk diadakan dalam perayaan 17-an ?
Sebelum menjawab pertanyaan secara langsung, kita simak dulu arti kemerdekaan bangsa Indonesia. Dunia mencatat bahwa penjajahan sangat tidak sesuai dengan kodrat manusia. Negara mana pun di bumi ini menolak penjajahan dalam bentuk apa pun.
Tak kecuali, bangsa Indonesia berusaha menolak penjajahan yang dilakukan oleh VOC, sebuah penindasan  berkedok niaga. Perlawanan tidak hanya doa-doa saja melainkan dengan menggunakan senjata tajam. Entah golok, pedang, tombak atau bambu runcing. Perlawanan dengan senjata serupa itu mah hasil mencuri dari mereka. Secara gentle, dilawan dengan ilmu yang tinggi.Â
Maka mereka para ilmuwan anak negeri kompak mengadakan perlawanan.Namun sang waktu masih tetap berputar. Itungan waktu tahun berganti abad, VOC masih bercokol bahkan bertambah menindas.
Di waktu yang dirasa tepat, tanggal 17 Ramadhan  bertepatan dengan 17 Agustus 1945 dikumandangkan proklamasi bangsa Indonesia.
Proklamasi bangsa Indonesia diperoleh dengan susah payah, kerja keras yang sangat lama, ratusan tahun. Berdarah-darah bahkan kehilangan nyawa. Kehilangan dua generasi. Putra putri anak bangsa harus gugur ditembus peluru panas hanya menolak penindasan dengan berperang. Pengasingan yang berujung kematian terjadi dimana-mana. Bukan lagi waktu yang singkat. Perlu mental yang baik, beberapa lapis baja untuk menggambarkannya.
Rasa syukur kita, generasi setelahnya, atas proklamasi yang diraih. Bersyukur mendapat warisan budaya berterima kasih kepada Sang Pemberi Proklamasi. Saatnya tepat, kondisi juga, pokoknya segalanya mendukung untuk proklamasi. Disini ada peran lain Sang Kreator Kehidupan. Tangan-tangan Tuhan Yang Maha Esa bekerja.Â
Dapat dibayangkan dalam hitungan ratusan tahun kita berperang, namun jika Yang Maha Pemberi proklamasi belum mengizinkan, maka tidak terjadi proklamasi kemerdekaan.
Makna yang tak kalah hebat adalah sikap kejujuran. Peserta yang tidak jujur dalam berlomba, semisal makan pakai tangan, maka dikenakan diskualifikasi. Pokoknya kecurangan sekecil apapun berdampak di putus dari perlombaan.Â
Bahkan hukumannya tidak hanya sampai diskualifikasi saja malah merembet ke jenis lomba lain. Peserta yang bersangkutan mendapat sanksi sosial berupa larangan ikutan lomba di lain jenis. Waduh berat nih, tapi selalu saja ada yang nekad bersikap seperti itu.Â
Akhirnya sanksi berakhir tat kala panitia telah melihat perubahan sikapnya ke arah lebih baik. Ini menunjukkan sikap jujur menjadi urutan pertama dalam syarat lomba. Sikap ini harus ada dalam kehidupan nyata. Seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali untuk mengedepankan sikap jujur.
Berani memulai, harus berani mengakhiri. Walau pemenang sudah diketahui, perlombaan masih tetap berjalan, menunggu peserta lain untuk menyelesaikan tugasnya. Makan kerupuk sampai habis. Sambil disemangati penonton, peserta berusaha konsisten, meskipun pemenang sudah ada. Ini adalah pelajaran agar bersikukuh dengan pendirian.Â
Dapat juga dikatakan teguh pendirian dalam bersikap. Tidak mudah goyah oleh godaan, apalagi rintangan yang berat. Sikap istiqomah sangat perlu dalam menjalani kehidupan pekerjaan maupun di masyarakat.
Kreatif dengan bahan atau alat yang sederhana yang mudah didapat di sekitar lingkungan kita. Kerupuk merupakan makanan yang boleh identik dengan makanan khas Indonesia. Hampir setiap rumah tangga menyimpan kerupuk.Â
Setiap rumah makan baik yang kecil maupun yang besar selalu ada hidangan kerupuk. Tidak ada  pantangan usia untuk makan kerupuk. Siapa pun bisa makan kerupuk. Pesan moral dari lomba ini adalah berkreasi dengan barang yang mudah di dapat.
Jika diterapkan dalam penelitian, maka bahan yang mudah di dapat akan menjadi latar belakang masalah yang menarik untuk diteliti.
Pahlawan secara bijak namun berkelanjutan karena sampai sekarang masih dilombakan, memberikan nasihat untuk anak negeri dengan cara bermain. Bermain yang membuat bahagia namun dibalik itu semua terkandung nilai-nilai luhur Pancasila. Luar biasa.
Hanya ucapan "Terima Kasih Pahlawan Ku. Allah bersamamu di Jannah". Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H