Untaian kata-kata tentang ibu mulai membangkitkan kenangan masa kecil. Kehadiran sosok wanita istimewa, malaikat tak bersayap, bersama dalam menata asa. Seorang Ibu dengan dekapan, belaian, dan doa yang terucapkan setiap saat membawa kita ke masa sekarang. Bukan perjalanan singkat, penuh dengan keringat, sarat dengan manfaat. Sudahkah kita menyenangkan hatinya ?
Ibu yang telah melahirkan, robek rahimnya. Tetesan darah dan taruhan nyawa hanya karena ingin melahirkan kita sebagai anaknya. Menyusuinya selama dua tahun, mengasuhnya, dan menyapihnya. Menuntun berjalan, mengajak berbicara  supaya engkau pandai menyimak, diajarkan berbagai hal yang baik. Segalanya hanya untuk anaknya tercinta.
Perlahan namun pasti. Hati kecil pun tersentuh. Tak kuasa menahan rasa ingin berbakti kepada orang tua namun mereka berbeda tempat.
Sontak pecah keheningan malam dengan isak tangis hadirin. Tangisan sebagai tanda kelembutan hati. Sebagai rasa kangen berbuat baik kepada ibunda. Nanti kalian pulang bersegeralah peluk dan cium keningnya dan ucapkan terima kasih atas doa yang terpanjatkan.
Hadirin diingatkan sekaligus diajak untuk senantiasa mendoakan kedua orang tua. Apalagi  yang sudah meninggal dunia. Nabi kita berpesan tentang tiga hal kepada anak-anak yang ditinggal mati orangtuaya, yakni doa dari anak-anaknya, lunasi hutangnya, dan silaturrahmi tetap terjaga.
Malam Sabtu di awal tahun baru 1444 Hijriah telah menambah amunisi semangat untuk bisa berbuat baik kepada orang tua, guru sebagai pengganti orang tua di sekolah serta siapa pun. Menebar banyak manfaat dalam kondisi apa pun.
"Bray dengekeun ku ceuli. Eta lain daging jadi",
(Ustad Feylian)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H