Setibanya di  Jalan Braga dibarengi suasana matahari sore nan cerah ceria menyambut mesra saya dan istri. Motor kesayangan pun di parkir di sisi kanan jalan mengikuti motor lain yang sudah lebih awal berada di situ. Berniat membeli roti krenten di Sumber Hidangan. Toko kue ini terbilang jadul, dari sisi bangunan maupun makanan dan minumannya. Roti krenten yang menjadi primadona dari dulu hingga sekarang.
Jalanan yang tidak beraspal tapi menggunakan batu dipenuhi oleh kendaraan roda empat. Jalanan yang membedakan Bragaweg dengan jalan lainnya. Bagian sisi kanan jalan bahkan dijadikan lahan parkir motor. Jadi suasana nampak lebih ramai dari biasanya. Pantas saja karena bertepatan dengan akhir pekan.
Sambil berjalan santai menikmati sore di jalan yang penuh nostalgia kata para pengunjung lokal maupun luar negeri. Mata pun tetap berusaha menemukan toko yang dimaksud. Berjalan berduaan menyusuri trotoar jalan yang ramai dengan hilir mudik pengunjung.
Setelah cukup jauh berjalan bahkan sampai ke ujung jalan, toko itu pun belum ditemukan. Penasaran, karena belum ketemu maka bertanyalah ke akang tukang parkir. Kalau hari Minggu toko kue Sumber Hidangan tutup. Pedagang lukisan menyimpan berbagai lukisan menutupi bagian depan toko. Pantesan tidak ketemu, tertutup lukisan.
Jalan Braga sebagai warisan cagar budaya, benarkah?
Mencari tahu hanya mengandalkan tenaga kaki untuk berjalan sambil diselingi ambil foto. Mengasyikan juga berfoto selfi, rasanya cukup  terbayar sudah rasa cape perjalanan dari Cinunuk menuju Jalan Braga. Ternyata tidak hanya saya dan istri , pengunjung lain pun berfoto ria. Jepret sana, jepret sini. Bahkan juru foto amatiran pun ada. Tinggal bayar, soal gaya serahkan ahlinya. Jadilah foto bernuansa khas Jalan Braga. Keren ga !.
Berjalan cukup jauh tanpa terasa tiba di sebuah prasasti yang sudah nempel di tembok  bangunan. Dengan mata berbinar, ketemu juga tanda bahwa Jalan Braga adalah salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia. Ada prasasti yang resmi ditandatangani. Tak panjang-panjang berpikir, tancap gas. Berfoto selfi bergantian dengan istri. Sesaat kemudian, pertanyaan pun muncul. Mana bangunan aslinya ya ?
Prasasti Braga Gids van Bandoeng. Jalan Braga No. 82-84. Dibangun tahun 1940.
Di bangunan ini dulu terdapat percetakan dan rumah tinggal milik E.H.H. Buck yang menerbitkan majalah bulanan Gids van Bandoeng.
Prasasti itu memberikan informasi bahwa disini pernah terbit majalan bulanan yang khusus mengedepankan Bandung sebagai ulasan utamanya. Berarti Bandung tempo dulu sangat mempengaruhi pikiran dan tindakan pemiliknya. Hebat...euy Bandung.
Sungguh disayangkan, bangunan di belakangnya sudah berganti rupa menjadi cafe kekinian bergaya milenial, sepertinya cocok buat anak remaja . Walau berpindah kepemilikan, setidaknya disitu pernah ada perniagaan yang berjaya pada masanya.
Masih kepo dengan bangunan tempo dulu alias cagar budaya, kita pun menyebrang jalan. Alhamdulillah ketemu lagi prasasti.
Â
Prasasti N.V. Hellerman. Jalan Braga No. 47-47-51.
N.V. Hellerman merupakan toko pertama yang dibuka di Bragaweg pada tahun 1894. Pada masa Jepang, lantai dua gedung ini pernah menjadi rumah darurat anak dan istri arsitek Wolff Shoemaker.
Bangunan asli masih ada. Luar biasa terawat, dengan cat tembok warna putih dan pintu jati yang dibiarkan berwarna kusam memberikan kesan mendalam. Serasa berada tahun tersebut. Sstt ngelamun saja. Boleh dong melamun. Gretong kok. Tinggal ambil gambar disini, namun pengunjung lain pun berniat yang sama dengan saya dan istri, jadi antrilah nunggu giliran. Tak apa yang penting dapet momentnya.
Bagaimana dandanan para pengunjung ?
Seolah kembali ke jaman pendudukan Hindia Belanda di Bandung, dulu none-none bule dan pasangannya atau keluarga  bule yang berkunjung ke situ senantiasa memakai gaun yang bagus dan sesuai kondisi waktu itu. Keadaan seperti itu ruapanya tertanam sampai sekarang, sehingga siapa pun yang akan berkunjung ke Jalan Braga harus berdandan rapi dan sesuai kondisi. Mereka pun tampil beda dengan gaya khas masing-masing. Seru juga menyaksikannya.
Menurut saya dan istri, berpenampilan sore itu sepertinya mengikuti "aturan". Entah cocok atau tidak. Terserah lah ya . Â Percaya diri saja, dinikmati, yang penting kita berpakaian sesuai suasana santai karena hari Minggu.
Rasa ingin tahu tentang cagar budaya Jalan Braga sudah terpenuhi. Berfoto bergaya nuansa Bragaweg pun sudah dilakukan. Rasa senang berbaur bahagia pun mengisi hati. Hari ini masih bisa menikmatinya.
Semoga Bragaweg  tetap berjaya walau masa berganti. Semoga menjadi tempat wisata lokal yang membanggaan dunia. Segala keunikan dan khas yang ditawarkan menjadi penawar rasa tempo dulu yang mendunia pada saat itu.Â
Paduan gaya milenial semoga tetap bersanding mesra dengan cagar budaya yang ditinggalkan. Bragaweg telah menepati janji kepada siapa pun pengunjung yang datang, menyenangkan sekaligus membanggakan. Esok lusa ataupun nanti Jalan Braga senantiasa akan memaksa diri siapa saja untuk mengunjungi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H