Sepekan ini saya nggak bosan menulis tentang UBER, karena memang masalah UBER ini lagi trending haha. Bahkan di Kompasiana TV sudah beberapa kali muncul sebagai berita.
Jujur saja, saya pernah merasakan naik UBER di kota saya, Bandung. Sekeluarga berempat, naik Avanza terhitung tahun masih baru, dari rumah di Antapani ke restoran jalan Progo, menghabiskan biaya Rp. 21.000 saja.
Lalu, suatu hari Sabtu sore yang amat sangat macet, saya naik UBER sendirian dari Jl. Soekarno Hatta ( depan Metro margahayu) menuju rumah teman saya di daerah Geger Kalong KPAD, melewatkan perjalanan selama hampir dua jam , dengan biaya " hanya " Rp 115.0000 saja,
Siapa yang bayar ? Saya belum punya account UBER tetapi anak dan istri saya sudah, jadi perjalanan yang kedua itu saya minta istri saya dirumah yang menghubungi UBER, minta pengemudinya menjemput saya di depan Metro. Â Istri saya lalu kontak saya, bilang nanti yang jemput namanya pak A, no mobil D XXXX, dan sekaligus no hp supir yang bersangkutan.Â
Juga bilang bahwa mobilnya masih di Kircon, jadi butuh waktu agak lama utuk sampai ke tempat saya. Ok, fine, no problem....
Untuk memastikan, saya telpon pak A, bilang saya menunggu di jalur lambat dekat turunan Parakan Saat, pakai baju kotak kotak......ok, saya masih depan Samsat , jawab pak A. Â Singkat kata , saya naik dan pak A bilang, kita mulai ya. Ditekanlah tombol di Asus nya ( katanya dikasih pinjam sama perusahaan haha ) dengan AWALI TRIP. Perjalanan pun dimulai..
Pak A cerita, dia dulunya  supir taksi KK, sudah bekerja di sana selama 23 tahun....dan akhirnya pindah ke UBER karena merasa lebih tenang. Disini, dia mendapat gaji tetap , sehingga tidak harus kejar kejaran dengan setoran.....Dia bilang, boss nya punya 5 mobil rental, dan semua sekarang disewa oleh UBER.  Saya tanya, apa Bapak sudah narik penumpang hari ini ? Belum, Bapak yang pertama,  saya paling banyak juga baru narik empat trip sehari, sisanya kebanyakan ya tidur sambil nunggu panggilan....Oh, iya. saat itu UBER baru beroperasi empat hari di Bandung.
Di UBER, saya mau makan atau shalat bisa nyantai, tinggal OFF LINE saja....lanjut pak A. Tadi saya baru selesai shalat dan makan, baru ONLINE lagi, terus ada permintaan dari ibu (maksudnya istri saya )
Demikianlah, saking macetnya Bandung sore itu perjalanan lewat Gasibu, ke Cipaganti sampai ke Gerlong memakan waktu hampir dua jam.....
Seperti cerita di awal, saya nggak bayar, yang bayar Kartu Kredit istri saya haha....saya hanya memberikan sekedar uang rokok buat pak A ( hal yang konon nggak boleh di UBER, tapi kalau rela ngasih kenapa tidak?)
Jadi, seperti banyak cerita di belahan dunia lain, UBER memenuhi kebutuhan konsumen akan transportasi. Anak saya, bahkan bisa punya waktu untuk memperbaiki mobilnya ke bengkel, karena dia sekarang naik UBER terus sehari harinya. Apalagi dia masih punya kredit UBER yang nilainya cukup besar.....
Akankah UBER bisa terus eksis ditengah kepungan para pengusaha taksi konvensional yang sekarang sedang gencar melakukan perlawanan terhadap UBER ?
Memang, menurut mereka UBER adalah ilegal, tetapi suatu hal yang baru dan belum punya aturan yang jelas, belum tentu ilegal. Yang mengatakan ilegal adalah mereka yang kepentingannya terganggu dengan adanya UBER ini hahaha...
Salam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H