Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Tentu kita sadari penyakit ria memang menjadi penyakit yang sangat berbahaya bagi perjalanan ibadah kita. Penyakit hati ini dapat dengan mudah mambakar habis pahala ibadah yang kita lakukan sekalipun sudah bersusah payah kita kerjakan. Ibarat debu di atas batu yang diterpa hujan badai hingga debu tersebut terhempas habis tak bersisa maka begitulah akibat ibadah yang terselubung ria.
Memang tidaklah mudah untuk mengidentifikasi penyakit ria. Namun setidaknya menurut Imam Al Ghozali penyakit ria sering timbul karena sebab tiga hal, yaitu:
1.Mencari nikmatnya pujian seseorang.
Contoh:
A.“Ah, sebelum adzan ashar nanti ana harus meninggalkan perkuliahan dulu untuk pergi ke masjid lantas adzan. Mudah-mudahan si ukhti ma temen-temen lain liat ana dan denger ana adzan nanti.”
B.“Ana tolak aja lah panggilan kerja dari perusahaan Konvensional ini. Biar temen-temen tau bahwa ana punya idealisme yang kuat.”
2.Menghindar ataupun takut dicaci.
Contoh:
A.“Duh malu nih ana, temen-temen pada sholat tepat waktu padahal mereka orang yang biasa-biasa aja. Masa ana yang penggiat dakwah telat shalatnya. Apa kata dunia???”
B.“Duh apa kata temen-temen nanti, masa penggiat Dakwah Eksyar ATMnya masih ATM konvensional. Harus cepet-cepet ganti nih..”
3.Berharap pemberian manusia.
Contoh:
A.“Wah, pak dosen rupanya rajin sholat duha juga toh. Klo gitu ana shalat duha aja persis di sampingnya ah. Kali aja dia liat ana lantas berbaik hati terhadap urusan skripsi ana.”
B.“Pokoknya ana harus dapet juara satu di lomba artikel Eksyar nanti biar pak Dosen tau lantas setuju sama proposal skripsi yang ana ajukan tentang Eksyar ini.”
Namun demikian bukan berarti perasaan takut untuk berbuat ria ini lantas membuat kita justru enggan melaksanakan ibadah karena anggapan “toh nanti pahala ibadah ana habis tak bersisa..!!”. Bukan seperti itu menyikapinya.
Satu hal lagi tambahan tentang bagaimana mengidentifikasi penyakit ria ini yang mungkin menurut penulis sering tidak kita sadari muncul dalam benak kita yaitu justru pada perasaan ‘takut disebut ria.’ Karena ternyata perasaan takut di sebut ria lagi-lagi mengkotakkan kita pada orientasi manusia, mengkotakkan kita bukan lagi pada ‘apa kata ALLAH’ melainkan ‘apa kata mereka.’
Contoh: “Waduh, ana takut dianggap ria nih kalau shalat lebih awal waktu dari temen-temen walaupun mungkin ada sebagian yang menganggap ana sebagai taat.”
Dan banyak lagi contohnya.
Untuk sedikit menjawabnya, kiranya ada sebuah kisah yang mungkin dapat mengingatkan kita tentang hal ini. Simaklah…
Kisah tentang Lukmanul Hakim saat mengajak anaknya ke pasar.
Mereka mempunyai seekor keledai yang sudah tua dan kurus badannya.
Saat hendak menuju ke pasar;
Lukmanul Hakim: “Nak ini keledai kita cuma satu, kurus, dan sudah tua lagi. Berarti sudah kalau begitu kamu saja yang naik ini keledai, sementara bapak menuntun saja.
SiAnak pun menaikki keledainya, kemudian Mereka berjalan melewati sekumpulan orang dan mulai berkomentar;
Salah satu dari kumpulan orang: “Heuh, tuh anak ngelunjak bener sama orang tua. Nggak sopan, masa dia enak-enak nangkring di atas keledai sementra bapaknya nuntun keledai.
Komentar tersebut terdengar oleh Lukmanul Hakim dan anaknya. Sehingga Lukmanul Hakim pun berkata pada anaknya.
Lukmanul Hakim: “Nak kita salah, tukar-tukar.Kamu turun bapak yang naik keledai.”
Naek bapaknya ke atas keledai mnggantikan anaknya, dituntun itu keledai sama anaknya kemudian melewati lagi sekelompok orang.
Salah satu dari kumpulan orang: “Heuh, bapak sudah tua, rambut putih, nggak bijaksana masa dia enak-enak nangkring di atas keledai, anak kecil disuruh nuntun.
Lukmanul Hakim: “Wah kita salah lagi nak. Sudah kalau begitu bapak turun saja. Kita tuntun saja keledai ini sama-sama.”
Kemudian mereka lewat lagi di sekumpulan orang:
Salah satu dari kumpulan orang: “Heuh liat tuh orang, tidak efektif, tidak efisien, harusnya keledai kan dimanfaatkan. Ini liat keledai dianggurkan begitu.”
Lukmanul Hakim: “Nak kita salah lagi. Kamu naik salah, bapak naik salah. Tidak ditunggangi salah. Sudah kalau begitu kita naikki berdua saja keledai ini.”
Lalu lewatlah mereka di sekumpulan orang lagi yang rupanya pecinta binatang.
Salah satu dari kumpulan orang: “Liat tuh orang, teganya, hak azasi manusia diperjuangkan, hak azasi binatang diinjak-injak. Keledai tua, kurus lagi eh seenaknya dinaikki berdua.
Lukmanul Hakim: “Nak kita salah lagi. Turun..turun..turun. Pikir dulu sebentar. Kamu naik salah, bapak naik salah, tidak dinaikki salah, dinaikki berdua salah. Kira-kira yang mesti kita lakukan apa nih.”
Si Anak: “Sudahlah pak kita gotong saja keledainya sama-sama. Biar keledai naik kita sekarang.”
Dan ternyata benar mereka menggotong keledai tersebut dan kemudian melewati sekumpulan orang lagi yang rupanya adalah seorang filosof.
Salah seorang filosof: “Bener-bener, zaman memang sudah edan. Dulu mah orang naik keledai sekarang keledai naik orang.
Akhirnya Lukmanul Hakim pun memanggil anaknya dan menyimpulkan.
Lukmanul Hakim: “Sini-sini nak. Kamu liat ternyata kita salah semua. Nak, kalau kamu berharap kamu bahagia karena apa kata orang. Orang punya pikiran beda-beda, punya pendapat beda-beda, tapi kalau engkau mencukupkan pandangan ALLAH saja maka engkau akan merdeka.”
Jadi, singkat kata pendek bicara, cukupkanlah setiap ibadah yang kita kerjakan hanya pada ‘apa kata ALLAH’ saja, sebab kalau ‘apa kata ALAH’ saja sudah baik nicaya baik pulalah ‘apa kata mereka’, namun bila ‘apa kata ALLAH’ burukmaka tentu buruk pulalah ‘apa kata mereka.’ Dan itulah hakikat ikhlas sebagai pengobat penyakit ria dalam diri kita.
Memang tidaklah mudah…
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H