Mohon tunggu...
Andriyansyah Marjuki
Andriyansyah Marjuki Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah saya yang bukan kamu atau dia, apalagi kita.

Seorang BOCAH GEDE yang masih berusaha untuk memahami makna 'Urip Mung Mampir Ngombe'. http://basando.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Berdusta Pada Dunia (Sebuah Renungan Pribadi)

5 April 2019   17:34 Diperbarui: 5 April 2019   17:41 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dulu saya ingin kuliahbdi Sorbone, Paris, Perancis, apalah daya saya hanya punya saudara di Jogja dan akhirnya "terdampar" di sana. Sekarang saya sudah "pulang kampung" dan menjadi diri saya sendiri.

Beberapa hari belakangan terdengar suara bisikan (lebih terasa sebagai permohonan) dengan diksi: "jangan pelit nilai". Setiap tahun, juga akhir semester, suara yang sama kerap terdengar.

Saya tidak ada membahas secara langsung, tetapi hanya mencoba memberikan analogi (mudah-mudahan sesuai) untuk masalah ini.

Bayangkan jika pada waktu kecil Valentino Rossi (juara dunia MotoGP) diberikan nilai matematika yang tinggi (melebihi kemampuan sebenarnya), juga nilai mapel lain yang sebenarnya tidak dia kuasai (bahkan tidak dia sukai). Bisa jadi dia akan berusaha melanjutkan pendidikan di bidang yang sebenarnya tidak dia sukai. Mungkin dia akan terjauhkan dari dunia balap yang sesungguhnya dia kuasai dan sukai. Selanjutnya, dia tidak akan pernah menjadi juara dunia MotoGP seumur hidupnya.

Justru karena dia tidak menyukai suatu mapel dan berdampak pada nilai yang didapatkannya kecil, dia mencari bidang lain yang sesuai bakatnya, yaitu balap. Hal ini didorong dan didukung oleh orang di sekitarnya. Dia terus menekuni bidang tersebut hingga akhirnya mencapai puncak menjadi juara dunia MotoGP.

Pada hari ini kita tidak mengenal Valentino Rossi sebagai ahli matematika, sastrawan, ataupun astronot, melainkan sebagai maestro balap motor.

Kembali kepada permohonan tadi, yaitu: jangan pelit nilai. Jika saya (dan para guru/dosen lain) memberikan nilai tinggi --- yang sesungguhnya hanya "katrolan" --- kepada pelajar/mahasiswa, hal itu sama saja dengan berdusta pada dunia. Membohongi sekaligus membodohi dan menjerumuskan. Pelajar/mahasiswa tersebut akan "merasa" bahwa dia mampu, hingga akhirnya menekuni suatu bidang yang bukan bakatnya.

Akan lebih baik jika kita memberikan nilai "apa adanya" sesuai kemampuan dia sendiri. (Semoga) dia akan "melihat" keadaan nilainya dan melanjutkan pendidikan sesuai dengan bidang yang dia kuasai (yang nilainya memang tinggi). Dengan demikian, diharapkan dia dapat menekuni bidang tersebut dan menjadi ahli atau maestro pada akhirnya.

Hal di atas agak sulit dipahami di dunia kita saat ini ketika segalanya diukur dengan nilai dan dilihat semata dari bungkusnya. Dunia yang fana ini sudah terlalu penuh dengan kepura-puraan dan kepalsuan.

Semoga kita semua kembali menjadi manusia "apa adanya" sesuai dengan kemampuan dan bakat alami yang kita miliki. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi katrol-mengatrol nilai, suap sana-sini, dan tidak ada yang meraih sesuatu secara instan lewat "pintu belakang".

NB. Saya bukan orang "suci" dan tidak akan pernah mengaku sebagai orang "suci", namun saya berusaha semaksimal mungkin mempertahankan "idealisme" di dunia dan zaman yang sudah semakin "edan" ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun