Dulu saya ingin kuliahbdi Sorbone, Paris, Perancis, apalah daya saya hanya punya saudara di Jogja dan akhirnya "terdampar" di sana. Sekarang saya sudah "pulang kampung" dan menjadi diri saya sendiri.
Beberapa hari belakangan terdengar suara bisikan (lebih terasa sebagai permohonan) dengan diksi: "jangan pelit nilai". Setiap tahun, juga akhir semester, suara yang sama kerap terdengar.
Saya tidak ada membahas secara langsung, tetapi hanya mencoba memberikan analogi (mudah-mudahan sesuai) untuk masalah ini.
Bayangkan jika pada waktu kecil Valentino Rossi (juara dunia MotoGP) diberikan nilai matematika yang tinggi (melebihi kemampuan sebenarnya), juga nilai mapel lain yang sebenarnya tidak dia kuasai (bahkan tidak dia sukai). Bisa jadi dia akan berusaha melanjutkan pendidikan di bidang yang sebenarnya tidak dia sukai. Mungkin dia akan terjauhkan dari dunia balap yang sesungguhnya dia kuasai dan sukai. Selanjutnya, dia tidak akan pernah menjadi juara dunia MotoGP seumur hidupnya.
Justru karena dia tidak menyukai suatu mapel dan berdampak pada nilai yang didapatkannya kecil, dia mencari bidang lain yang sesuai bakatnya, yaitu balap. Hal ini didorong dan didukung oleh orang di sekitarnya. Dia terus menekuni bidang tersebut hingga akhirnya mencapai puncak menjadi juara dunia MotoGP.
Pada hari ini kita tidak mengenal Valentino Rossi sebagai ahli matematika, sastrawan, ataupun astronot, melainkan sebagai maestro balap motor.
Kembali kepada permohonan tadi, yaitu: jangan pelit nilai. Jika saya (dan para guru/dosen lain) memberikan nilai tinggi --- yang sesungguhnya hanya "katrolan" --- kepada pelajar/mahasiswa, hal itu sama saja dengan berdusta pada dunia. Membohongi sekaligus membodohi dan menjerumuskan. Pelajar/mahasiswa tersebut akan "merasa" bahwa dia mampu, hingga akhirnya menekuni suatu bidang yang bukan bakatnya.
Akan lebih baik jika kita memberikan nilai "apa adanya" sesuai kemampuan dia sendiri. (Semoga) dia akan "melihat" keadaan nilainya dan melanjutkan pendidikan sesuai dengan bidang yang dia kuasai (yang nilainya memang tinggi). Dengan demikian, diharapkan dia dapat menekuni bidang tersebut dan menjadi ahli atau maestro pada akhirnya.
Hal di atas agak sulit dipahami di dunia kita saat ini ketika segalanya diukur dengan nilai dan dilihat semata dari bungkusnya. Dunia yang fana ini sudah terlalu penuh dengan kepura-puraan dan kepalsuan.
Semoga kita semua kembali menjadi manusia "apa adanya" sesuai dengan kemampuan dan bakat alami yang kita miliki. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi katrol-mengatrol nilai, suap sana-sini, dan tidak ada yang meraih sesuatu secara instan lewat "pintu belakang".
NB. Saya bukan orang "suci" dan tidak akan pernah mengaku sebagai orang "suci", namun saya berusaha semaksimal mungkin mempertahankan "idealisme" di dunia dan zaman yang sudah semakin "edan" ini.