Marah, kenapa harus marah? Pikirku dalam hati. Aku tidak marah, aku kesal. Aku menyesal. Aku bingung.
"Ah, nggak, aku gak marah, kok," aku berbohong.
"Salah sendiri, kamu terlalu lama," dia malah menyalahkanku.
"Aku yang salah?" tanyaku, tak mau disalahkan untuk masalah ini.
"Iya, kamu terlalu lama. Aku nunggu kamu. Kamu malah gak peka. Kamu gak mau usaha," dia terus menyalahkan aku dengan serta merta.
Aku terdiam. Aku tak mampu menjawab apapun.
***
Siang itu aku bekerja seperti biasa. Tak ada yang spesial, kecuali satu hal: aku baru saja putus dari Tina. Nama aslinya, sih, Martinah Sugiman. Tapi, demi kepantasan dan gaya-gayaan, aku panggil dia: Tina. Namanya memang agak kedaerahan, tapi jika kau lihat wajahnya, kau takkan menyangka namanya seperti itu. Kuyakin kau akan menganggap namanya adalah Angel, Chyntia, Debby, Clara, atau setidaknya Wulan. Wajahnya seperti perempuan blasteran walaupun kedua orang tuanya asli dari Kebumen.
Ya, aku resmi putus. Kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Tak ada kecocokan lagi yang kami rasakan. Wajah memang idaman, tapi pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi setiap detik bukanlah sesuatu yang kami impikan. Habis waktu kami untuk bertengkar. Mulai dari pemilihan tempat makan sampai masalah sepele seperti merek minuman botol kemasan apa yang harus kami beli. Kami lelah dengan semua itu. Putus memang keputusan yang tepat bagi kami.
catatan: tulisan ini sudah dibukukan dalam sebuah kumpulan cerpen yang diterbitkan secara terbatas.
Jika Anda ingin membaca lanjutan cerpen ini, silakan hubungi saya.