Setiap manusia mau diterima dan diakui keberadaannya, bila penerimaan tidak didapatkan maka perasaan tertolak menjadi luka batin dalam dirinya. Contoh: seorang bayi yang dibuang oleh ibunya sejak lahir, seseorang yang ditolak dengan kasar oleh wanita/pria yang disukai, dan lainnya. Mengapa menjadi luka batin? Ternyata perasaan diterima merupakan kebutuhan kita sebagai manusia.
Menurut psikolog Abraham maslow, ada 5 tahap kebutuhan manusia.Â
Tahap 1. Kebutuhan fisik
Tahap 2. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan
Tahap 3. Kebutuhan kasih sayang (dicintai, dimiliki dan persahabatan)
Tahap 4. Kebutuhan penghargaan (diakui, dihargai)
Tahap 5. Kebutuhan aktuliasasi diri (menjadi apa yang diinginkan)
Dengan melihat tahapan tersebut, tentu akan banyak luka batin dalam diri kita. Ketika kita tidak dicintai, tidak dihargai, tidak merasa aman, tidak menjadi diri sendiri, tidak diberi makan, dll.
Kali ini saya ingin mengeksplor pengalaman luka batin karena tertolak. Namanya ditolak, pasti tidak diterima. Padahal kita adalah manusia yang punya kelebihan dan kekurangan yang membutuhkan peneriman serta dukungan dari orang lain agar dapat menjadi manusia yang lebih baik. Namun dalam kehidupan nyata, ada banyak orang-orang yang tidak sadar sedang menolak seseorang dan membuatnya terluka.
Saya adalah anak yang lahir ditengah keadaan yang tidak pas karena kelahiranku menghadirkan kematian seseorang yang sudah melekat dengan orang terkasihnya. Orang-orang belum dapat menerima kematiannya dan menolak kehadiran diri ini... Ini menjadi titik awal perasaan tertolak yang terbawa dan terhubung dengan hidup yang keras ini!!
Saya mengalami kesulitan bersosialisai ketika sekolah dasar, saya paling takut dengan yang namanya "kelompok/ geng" yang kadang membuat bingung, "saya diterima atau tidak ya".Â
Ketika SMP, saya tidak terlalu dipusingkan dengan kelompok karena teralihkan dengan mata pelajaran yang semakin banyak.
Ketika SMA, saya kembali sensitif dengan rasa diterima dan ditolak, apalagi kita memasuki masa puber dan perasaan ingin dicintai / diakui sangat kuat dan mulai mencari jati diri atau memiliki kenginan menjadi sesuatu. Nah, saya pun terluka dengan seseorang dari satu kelompok teman yang sebenarnya bagi orang itu ia tidak merasa sedang melukai diri ini. Ia bersikap seolah-olah diri ini tidak bagian dari komunitas dan ancaman bagi kelompoknya sehingga perlu dijauhi serta diberikan sikap sinis. Pengalaman tersebut menjadi pelajaran bagi saya dan berhati-hati dalam tindakan "sikap eklsusif" / "fanatik" terhadap orang lain.
Perasaan tertolak ini masih terbawa di awal-awal pacaranku ketika masa kuliah. Saya sangat sensitif ketika ia tidak mengenalkan dengan temannya atau keluarganya, ketika ia tidak menggenggam tanganku ketika berjalan. Ah,, ternyata perasaan tertolak ini membuatku berlebihan dan itu wajar!!!
Yang menjadi tidak wajar, ketika perasaan tertolak membuat diri ini sulit untuk mengaktualisasikan diri. Padahal aktualisasi diri merupakan kebutuhan kelima yang perlu diperoleh agar menjadi manusia yang lebih baik.
Saya memiliki bidang minat dalam konseling pastoral/ pastoral/ konselor. Saya melihat kebutuhan manusia untuk didengarkan sangat lah penting karena pengalamanku saat punya masalah besar lalu ada seseorang yang mau mendengarkan (seseorang ini menguatkan dan menolong saya melihat masalah dari sudut pandang lain). Saya mungkin memiliki bakat alami dalam mendengarkan karena dari dulu sering mendengarkan curhat atau karena saya yang tidak suka gosip sehingga mereka percaya bercerita.
Nah masalahnya, saya lebih mudah konseling bila orang itu sudah mengenal saya dan membutuhkan saya. Namun untuk orang baru dan saya dituntut aktif mendekati dan bertanya maka luka batin perasaan tertolak sangat mengganggu. Saya diakuasai oleh rasa takut dan kekhawatiran bahwa saya akan ditolak sehingga tidak berani melangkah dan mendatangi orang-orang baru. Saat ini, saya aktif dalam pembina sekolah minggu (komunitas anak), salah satu tugasnya adalah perkunjungan ke rumah anak-anak tersebut. Saya hampir 2 tahun bersama mereka, tapi saya belum melakukan perkunjungan. Bagi yang sakit dan berduka, saya hadir. Namun untuk perkunjungan, rasa tertolak ini menguasai dan saya baru menyadari tadi malam ketika mengikuti pembinaan perlawatan bagi tim perkunjungan. Pembicara menjabarkan beberapa hal penting yang perlu disiapkan oleh seorang pelawat/ konselor, salah satunya adalah SIAP TIDAK DITERIMA.
Saya tersentak dengan kalimat "siap tidak diterima", tampaknya saya tidak siap tidak diterima, itu akar dari kesulitan saya untuk mengaktualisasikan diri dalam proses pendampingan pastoral. Saya jadi merenung dan melihat kebelakang, saya kuliah di teologi dan skripsi yang saya angkat mengenai proses pendampingan pastoral terhadap anak yang berduka. Saya ingat sekali, saya tidak berani mengambil anak-anak sebagai subyek penelitian karena pada saat itu saya belum pernah sama sekali memasuki dunia anak (komunitas anak). Saya takut tertolak dan menghindari mereka. Saya pun pernah bekerja di sekolah dasar selama 1 tahun 10 bulan, konseling merupakan salah satu tugas yang wajib dilakukan dan saya senang melakukannya dengan anak-anak karena mereka menerima diri ini sebagai guru dan temannya. Kesulitan muncul ketika saya pun diharapkan mengundang orang tua untuk membahas anaknya dan saya tidak pernah melakukannya. Lagi lagi, saya takut tidak diterima dan ditolak, entah pendapat saya atau saya sebagai guru anaknya.
Ah dengan pengalaman - pengalam itu, saya pun sadar bahwa ini tidak boleh dibiarkan. Saya tidak boleh membiarkan rasa tertolak membuat saya tidak siap tidak diterima, saya perlu menumbuhkan rasa siap tidak diterima ini. Saya tidak boleh membiarkan luka batin ini menganggu proses aktuliasasi saya dalam proses pendampingan dan konseling pastoral. Dengan perasaan yang berkecamuk ini, saya pun bertanya kepada pembicara tadi malam, "Bu, adakah pengalaman seseorang yang kesulitan perkunjungan karena takut ditolak atau tidak siap tidak diterima? Jika ada, bagaimana menolongnya?". Beliau menjawab, "Pertama, ia harus membereskan dirinya terlebih dahulu. Kedua, ia perlu TIM yang mendukung dan menguatkannya untuk bersama-sama memulai dan melakukan perkunjungan"
Dengan jawaban tersebut, saya pun terdorong untuk mengolah luka batin ini dan memohon kepada suami agar menemani dalam langkah pertama awal perkunjungan ke rumah anak-anak yang saya bina. Dalam membereskan luka batin ini, tampaknya saya perlu mengotak-atik otak saya atau sugesti diri, "bahwa tidak semua orang menolakmu dan bila pun ada yang menolak maka ingatlah kembali bahwa masih ada orang yang mau menerima dan membutuhkanmu"
Â
Saya ingin berbagi tentang pengalaman ini, karena saya yakin diluar sana ada banyak sahabat yang mungkin merasakan hal yang sama yaitu luka batin karena perasaan tertolak namun tidak menyadarinya dan bisa menggerogoti masa depan kita.
Mari kita sadari agar tidak mengganggu aktualisasi diri kita sebagai manusia. Kita bisa menjadi manusia yang bisa lebih baik dan bermanfaat bagi banyak orang.
Masa lalu biarlah berlalu, masa kini kita syukuri dan maknai, masa depan merupakan dampak dari masa kini, yuk Semangatt...... ^_^
Â
[caption caption="love"][/caption]
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H