Mohon tunggu...
Abanita Kaban
Abanita Kaban Mohon Tunggu... Pembina -

Setiap saat proses pembelajaran, trutama belajar utk memberi diri dengan kasih tulus.. :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waspada! Luka Batin sedang Menggerogoti Masa Depanmu!

16 Februari 2016   19:03 Diperbarui: 18 Februari 2016   13:08 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika SMP, saya tidak terlalu dipusingkan dengan kelompok karena teralihkan dengan mata pelajaran yang semakin banyak.

Ketika SMA, saya kembali sensitif dengan rasa diterima dan ditolak, apalagi kita memasuki masa puber dan perasaan ingin dicintai / diakui  sangat kuat dan mulai mencari jati diri atau memiliki kenginan menjadi sesuatu. Nah, saya pun terluka dengan seseorang dari satu kelompok teman yang sebenarnya bagi orang itu ia tidak merasa sedang melukai diri ini. Ia bersikap seolah-olah diri ini tidak bagian dari komunitas dan ancaman bagi kelompoknya sehingga perlu dijauhi serta diberikan sikap sinis. Pengalaman tersebut menjadi pelajaran bagi saya dan berhati-hati dalam tindakan  "sikap eklsusif" / "fanatik" terhadap orang lain.

Perasaan tertolak ini masih terbawa  di awal-awal pacaranku ketika masa kuliah. Saya sangat sensitif ketika ia tidak mengenalkan dengan temannya atau keluarganya, ketika ia tidak menggenggam tanganku ketika berjalan. Ah,, ternyata perasaan tertolak ini membuatku berlebihan dan itu wajar!!!

Yang menjadi tidak wajar, ketika perasaan tertolak membuat diri ini sulit untuk mengaktualisasikan diri. Padahal aktualisasi diri merupakan kebutuhan kelima yang perlu diperoleh agar menjadi manusia yang lebih baik.

Saya memiliki bidang minat dalam konseling pastoral/ pastoral/ konselor. Saya melihat kebutuhan manusia untuk didengarkan sangat lah penting karena pengalamanku saat punya masalah besar lalu ada seseorang yang mau mendengarkan (seseorang ini menguatkan dan menolong saya melihat masalah dari sudut pandang lain). Saya mungkin memiliki bakat alami dalam mendengarkan karena dari dulu sering mendengarkan curhat atau karena  saya yang tidak suka gosip sehingga mereka percaya bercerita.

Nah masalahnya, saya lebih mudah konseling bila orang itu sudah mengenal saya dan membutuhkan saya. Namun untuk orang baru dan saya dituntut aktif mendekati dan bertanya maka luka batin perasaan tertolak sangat mengganggu. Saya diakuasai oleh rasa takut dan kekhawatiran bahwa saya akan ditolak sehingga tidak berani melangkah dan mendatangi orang-orang baru. Saat ini, saya aktif dalam pembina sekolah minggu (komunitas anak), salah satu tugasnya adalah perkunjungan ke rumah anak-anak tersebut. Saya hampir 2 tahun bersama mereka, tapi saya belum melakukan perkunjungan. Bagi yang sakit dan berduka, saya hadir. Namun untuk perkunjungan, rasa tertolak ini menguasai dan saya baru menyadari tadi malam ketika mengikuti pembinaan perlawatan bagi tim perkunjungan. Pembicara menjabarkan beberapa hal penting yang perlu disiapkan oleh seorang pelawat/ konselor, salah satunya adalah SIAP TIDAK DITERIMA.

Saya tersentak dengan kalimat "siap tidak diterima", tampaknya saya tidak siap tidak diterima, itu akar dari kesulitan saya untuk mengaktualisasikan diri dalam proses pendampingan pastoral. Saya jadi merenung dan melihat kebelakang, saya kuliah di teologi dan skripsi yang saya angkat mengenai proses pendampingan pastoral terhadap anak yang berduka. Saya ingat sekali, saya tidak berani mengambil anak-anak sebagai subyek penelitian karena pada saat itu saya belum pernah sama sekali memasuki dunia anak (komunitas anak). Saya takut tertolak dan menghindari mereka. Saya pun pernah bekerja di sekolah dasar selama 1 tahun 10 bulan, konseling merupakan salah satu tugas yang wajib dilakukan dan saya senang melakukannya dengan anak-anak karena mereka menerima diri ini sebagai guru dan temannya. Kesulitan muncul ketika saya pun diharapkan mengundang orang tua untuk membahas anaknya dan saya tidak pernah melakukannya. Lagi lagi, saya takut tidak diterima dan ditolak, entah pendapat saya atau saya sebagai guru anaknya.

Ah dengan pengalaman - pengalam itu, saya pun sadar bahwa ini tidak boleh dibiarkan. Saya tidak boleh membiarkan rasa tertolak membuat saya tidak siap tidak diterima, saya perlu menumbuhkan rasa siap tidak diterima ini.  Saya tidak boleh membiarkan luka batin ini menganggu proses aktuliasasi saya dalam proses pendampingan dan konseling pastoral. Dengan perasaan yang berkecamuk ini, saya pun bertanya kepada pembicara tadi malam, "Bu, adakah pengalaman seseorang yang kesulitan perkunjungan karena takut ditolak atau tidak siap tidak diterima? Jika ada, bagaimana menolongnya?". Beliau menjawab, "Pertama, ia harus membereskan dirinya terlebih dahulu. Kedua, ia perlu TIM yang mendukung dan menguatkannya untuk bersama-sama memulai dan melakukan perkunjungan"

Dengan jawaban tersebut, saya pun terdorong untuk mengolah luka batin ini dan memohon kepada suami agar menemani dalam langkah pertama awal perkunjungan ke rumah anak-anak yang saya bina. Dalam membereskan luka batin ini, tampaknya saya perlu mengotak-atik otak saya atau sugesti diri, "bahwa tidak semua orang menolakmu dan bila pun ada yang menolak maka ingatlah kembali bahwa masih ada orang yang mau menerima dan membutuhkanmu"

 

Saya  ingin berbagi tentang pengalaman ini, karena saya yakin diluar sana ada banyak sahabat yang mungkin merasakan hal yang sama yaitu luka batin karena perasaan tertolak namun tidak menyadarinya dan bisa menggerogoti masa depan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun