Entah dari mana, diksi ini muncul begitu saja dibenakku. Mungkin saja, bukan dari akal pikir, tetapi dari sempalan berpikir yang entah merujuk dari siapa dan pikiran siapa. Tentu saja, tidak ditemukan dalam kamus bahasa atau pun buku referensi dari pakar atau ahli.
Istilah “ibadah panas-panas tai ayam” muncul sekonyong-konyong dari benakku. Muncul dari sentilan pengurus masjid yang pidato semalam sambil menunggu pidato resmi Menteri Agama tentang penetapan 1 ramadhan. “Malam ini, sudah ada yang mulai shalat tarwih, tetapi kita tunggu saja pengumuman pemerintah. Kita ikut apa yang diputuskan pemerintah,” katanya mengawali pidato sesaatnya.
Sebagai pengurus masjid, lanjutnya, malam ini saya bersyukur karena di masjid kita ini dipenuhi jamaah. Shaf – shaf terisi penuh. Ini adalah sebuah kesyukuran dalam menyambut bulan suci Ramadhan. “Tetapi saya berharap, ini tetap bertahan pada malam-malam berikutnya. Bukan malam ini saja. Biasanya, shaf-shaf ini hanya penuh pada 10 malam pertama. Setelah itu, jamaah mulai berkurang, satu per satu,” katanya mengingatkan.
Saya yang duduk di shaf terdepan, tiba-tiba merasa dan tersentil. “Jangan-jangan, saya yang disentil,” kataku membatin. Sepulang dari tarwih malam pertama, pidato sesaat dari pengurus masjid terngiang kembali. Saya bertanya ke diri sendiri. Mencoba mereview diri sendiri. “wahhh, pidato itu tidak salah dan sangat tepat mengingatkan. Saya memang begitu. Awal Ramadhan rajin ke masjid, tetapi separohnya, di rumah saja”.
Pikiran pun mulai menggelayut. “Panas-panas tai ayam”. Kata-kata ini sering terucap oleh istri, ketika melihat saya mulai intens melakukan sesuatu. Dari shalat, zikir, mengaji, membaca, menulis hingga berolahraga. “Panas-panas tai ayamji kita. Pertama-tamanyaji rajin, sudah itu tidakmi lagi,” protes istri saya. Seperti halnya malam ini, saya datang ke masjid awal waktu, mulai mengaji, zikir dan shalat sunnah. Hingga menulis tulisan ini, saya sudah menunaikan 4 jenis shalat sunnah (Tarwih, witir, taubat, tahajjud).
Apakah saya akan konsisten? Entalah. Kalau tidak, berarti ibadah saya akan disebut “panas-panas tai ayam lagi”. Fakta beribadah yang saya alami. Tentu saja, bukan saya saja yang mengalaminya. Setidaknya, bisa diukur dari jamaah masjid, dekat dari rumah. Seperti kata pengurus masjid itu, jamaah masjid hanya penuh di 10 malam pertama. Selebihnya, shaf-shaf mulai berkurang.
Boleh jadi, inilah fenomena sosial beribadah. Gejolak beribadah hanya diawal Ramadhan saja. Tetapi tak apalah, kita beribadah saja. Ramadhan adalah bulan berkah, bulan Rahmah, dan bulan ampunan. Semoga kita, termasuk salah seorang yang mendapat keberkahan Allah Swt melalui Ramadhan tahun ini. Setidaknya, ibadah kita tdak panas – panas tai ayam. Semoga. Amin ya Rabbal alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H