Mereka khawatir, kenyamanan dan prestise tidak lagi diperolehnya. Begitu pun dengan sistem kerja instruksional yang selama ini melekat bagi pejabat administrasi. Berubah 180% dengan model kerja fungsional. Lebih individual.
Selain dampak psikologis tersebut, kebijakan peralihan jabatan administrasi ke fungsional juga berimplikasi pada sistem kerja dan kinerja organisasi.Â
Jabatan fungsional mengisyaratkan pelaksanaan tugas berdasarkan keahlian dan atau keterampilan. Mereka pejabat fungsional harus memiliki keahlian dan atau keterampilan (kompetensi) terkait dengan penugasannya.
Tanpa kompotensi tersebut, seorang pejabat fungsional dipastikan tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.Â
Misalnya, JFT Pranata Humas, jika tidak memiliki keahlian atau keterampilan dalam bidang kehumasan. Maka dipastikan tidak akan mampu melaksanakan pekerjaannya secara fungsional.
Implikasi ini muncul sebagai dampak dari kebijakan teknis pelaksanaan peralihan jabatan itu sendiri. Dalam praktiknya, peralihan jabatan hanya didasarkan pada nomenklatur unit kerja saja.Â
Tapi mengabaikan kompetensi personal yang ada. Bahkan satker tidak diberikan ruang memetakan kompetensi dan penempatan dalam peralihan tersebut.
Akibatnya, banyak pejabat fungsional baru tidak mengenal dan bingung apa yang harus mereka kerjakan.Â
Bahkan sebagian dari mereka merasa tidak memiliki pengetahuan apa lagi keahlian atau keterampilan yang berkaitan dengan jabatan baru tersebut. Sebagiannya lagi, merasa lebih cocok berkarir pada jabatan administrasi (struktural).
Selain itu, implikasi dari banyaknya pejabat fungsional akan berdampak pada sistem koordinasi dan konsolidasi organisasi.Â