Mohon tunggu...
Abang Suher
Abang Suher Mohon Tunggu... Penulis - Tulis yang kamu kerjakan, kerjakan yang kamu tulis

Tinggal di Parepare, kota Pendidikan di Sulawesi Selatan, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Saya Satpol" dan Fenomena Netizen

23 Juli 2021   19:51 Diperbarui: 23 Juli 2021   20:04 3959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar meme "Saya Satpol"/dokpri

By. Suherman Syach

"Saya Satpol" kata-kata ini seketika viral di medsos. Disajikan dalam berbagai versi. Ada meme bergambar, pesan singkat, dan video singkat. Kontennya macam-macam. Ada yang lucu, nyinyir, basa basi, dan sekedarnya. Bahkan ada yang menggunakan istilah ini pada setiap postingan dan chatingan ala medsos, sebagai candaan atau berlolucon.

Istilah "Saya Satpol" membanjiri beranda medsos siang dan malam. Penggunanya, beragam jenis. Mulai kalangan anak milenial, emak-emak, pedagang lapak kaki lima sampai ke akademisi, politisi, ustas dan sejumlah pejabat. Setidaknya, itu yang terpantau diberbagai akun medsos pribadiku. Kata-kata ini seketika membumi di Indonesia. Seperti membuminya batu akik dan bunga-bunga yang cukup menyita perhatian.

"Saya Satpol" adalah kalimat yang tetiba viral karena sebuah peristiwa yang terekam. Peristiwanya terjadi di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketika sejumlah aparat pemerintah daerah menegakkan aturan PPKM di sebuah caf. Salah satu aparat dari Satpol PP, tiba-tiba berteriak, memaki dan beringas. "Saya Satpot, mana izinmu" kata Satpol yang kemudian terekam bertengkar hebat dengan seorang perempuan, sang pemilik cafe.

Peristiwa itu sendiri, secara sengaja dan sadar direkam secara live oleh pemilik cafe (suami korban penamparan). Pemilik cafe, ternyata juga berprofesi sebagai youtuber. Dalam tempo sesingkat-singkatnya, peristiwa ini tersebar dan ditonton ribuan nitizen. Bagi seorang youtuber, konten viral tentu saja sebuah impian.

Menyaksikan secara kasat mata video tersebut, para nitizen bereaksi. Dalam konten video terlihat perlakukan kasar aparat. Terindikasi, aparat menampar seorang perempuan, sang pemilik cafe. Sang suami sempat mengingatkan aparat dan berteriak, bahwa istrinya hamil. Insiden pertengkaran inilah yang memicu emosi nitizen.

"Aparat menganiya seorang perempuan hamil". Begitu kira-kira kesimpulan nitizen yang menonton kasat mata video dari peristiwa itu. Nitizen pun melancarkan protes, menyesalkan dan menyalahkan tindakan aparat Satpol PP itu. Bahkan sebagian besar, nitizen lainnya mengumpat, memaki dan mengutuk Satpol yang dianggapnya melanggar hak azasi seorang perempun, lagi hamil. Sebagiannya, meminta agar oknum itu diadili dan dihukum. Tentu saja, siapa pun akan marah melihat peristiwa seperti itu.

Respon dan reaksi cepat nitizen sudah sering sekali kita jumpai. Kata Allan Marten, informasi adalah karakter masyarakat digital. Cara bertindak masyarakat sangat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya secara digital. Mereka berkejaran dengan informasi. Baginya, informasi sangat berharga, informasi adalah peluang, informasi adalah senjata, informasi adalah kekuatan, informasi adalah uang.

Konten digital adalah milik dan bekerja di ruang publik. Karenanya sangat sulit dibatasi dan dipersempit. Beberapa negara telah membuatkan regulasi. Di Indonesia, regulasinya disebut Undang-undang ITE (Informasi Teknologi Elektronik). Sudah banyak yang terjerat. Tetapi tetap saja, tidak mampu membawa nitizen ke jalur yang benar dan terkendali.

Fenomena nitizen Indonesia menarik dicermati. Laporan Microsoft beberapa bulan lalu membuat mata kita terbelalak. Dalam survey Digital Civility Index (DGI) menunjukkan bahwa tingkat kesopanan nitizen Indonesia sangat buruk. (baca: https://www.kompas.com/sains/read/2021/02/26/194500523). Indonesia, yang dikenalkan kepada kita sejak dari kecil sebagai negara ramah dan sopan ternyata bergeser 100%. Warga internetnya paling tidak sopan !!!

Ada 3 indikator yang memengaruhi resiko kesopanan nitizen di Indonesia. Indikator tertinggi adalah hoaks dan penipuan, 47%. Indikator kedua, ucaran kebencian mencapai 27% dan ketiga, adalah diskriminasi dengan presentasi 13%. Ironinya, pelaku indikator ketidaksopanan tersebut didominasi oleh nitizen berusia dewasa. Bukan ABG (remaja).

Meski pun mendapat penolakan dari nitizen Indonesia. Bahkan Microsoft sempat diserang dan dibully. Hasil riset tersebut dapat diamati dan dianalisis kebenarannya melalui fenomena reaksi nitizen terhadap setiap peristiwa viral yang terjadi. Salah satunya, peristiwa "Saya Satpol" yang terjadi di Gowa, Sulawesi Selatan.

Pengamatan penulis, reaksi nitizen terhadap peristiwa "Saya Satpol" sangat cepat. Dalam hitungan menit, peristiwa yang terekam live ini tersebar di dunia maya. Dilihat dari konten, peristiwa ini termasuk kasus atau masalah sosial yang menguras psikologis masyarakat yang menyaksikan. "Pemukulan terhadap perempuan hamil oleh seorang aparat" merupakan peristiwa terhadap kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan.

Dalam hitungan 1 x 24 jam, suara nitizen tak terbendung. Mereka mengecam tindakan oknum dan membela perempuan hamil. Respon nitizen sangat massif. Bupati Gowa, Adnan Purichta Yasin Limpo merespon cepat dan memerintahkan jajarannya agar kasus tersebut segera diproses sesuai ketentuan. Bahkan Presiden Jokowi pun mengeluarkan stetmen khusus perihal kasus tersebut.

Itu pertanda, suara nitizen sangat kuat. Persoalan pada tingkat grassroot terbaca dan langsung direspon oleh pejabat negara. Suara nitizen menjadi kekuatan sosial.  Daya pressure-nya cukup efektif. Melalui media sosial dengan karakteristiknya yang berjejaring, informatif, dan interaktif membuat suara netizen telah menyamai suara-suara demonstran di jalanan.

Hanya saja, media sosial bisa menjadi hutan rimba bagi nitizen. Bahkan lebih kejam bagi hutan rimba sesungguhnya. Di sana ada pergulatan antara baik dan buruk. Orang baik bisa menjadi buruk karena fitnah atau hoaks. Sebaliknya, orang buruk bisa menjadi baik karena pencitraan. Kebenaran dan kejahatan bisa dibolak balikkan. Melalui media sosial, profil atau peristiwa bisa diframing sesuai dengan selera.

Fenomena itu, banyak terjadi di Indonesia. Contoh sederhana dapat diamati dari kasus viral seperti "Saya Satpol". Dalam amatan penulis, kasus ini telah melahirkan banyak hoaks. Baik dalam bentuk berita, infografis, meme, mau pun video pendek. Bahkan perbicangan pada berbagai media sosial lainnya, dengan gampangnya orang membully, mencaci, atau ujaran kebencian.

Nampaknya, fenomena nitizen tersebut di atas akan terus mewarnai sejarah manusia pada peradaban dunia maya. Tak ubahnya di dunia nyata. Selalu ada pergulatan dan pertarungan. Antara yang benar vs salah, baik vs jahat dalam berbagai versi dan bentuk aksinya. Semoga saja, kebenaran dapat mendominasi agar dunia maya kelihatan seperti manusia dan kemanusiaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun