Mohon tunggu...
Abang Suher
Abang Suher Mohon Tunggu... Penulis - Tulis yang kamu kerjakan, kerjakan yang kamu tulis

Tinggal di Parepare, kota Pendidikan di Sulawesi Selatan, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Catatan Kritis Sinetron "Dari Jendela SMP"

9 Juli 2020   21:45 Diperbarui: 30 September 2020   16:38 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara tak sengaja, saya menonton sinetron yang tayang di layar televisi. Awalnya, hanya menemani anak yang sedang serius menonton. Rupanya mereka sangat suka dan memfavoritkan sinetron yang lagi mereka tonton. Karena ketika, saya memindahkan chanel tivi, mereka spontan protes. Anak saya ada dua dan kedua-duanya perempuan. Anak pertama berusia 7 tahun dan anak kedua berusia 14 tahun. Kedua-duanya pun serius menonton.

Akhirnya saya pun ikut-ikutan menonton sampai akhir episode. Ceritanya cukup menarik dan membuat penasaran. Tapi bukan itu yang menjadi alasan saya untuk menonton sinetron ini beberapa episode berikutnya.

Ada alur dan kisah cerita yang menggelitik jiwa. Sepertinya, sinetron yang mengisahkan cerita cinta anak remaja ini, memang menyasar penonton berusia remaja. Itu terlihat dari aktor utama yang bermain, kebanyakan anak remaja dan judulnya pun demikian; "Dari Jendela SMP".

Naluri "kebapak-an" tiba-tiba khawatir. Sinetron ini tengah mempertontonkan anak remaja dengan kisah cintanya yang sangat kompleks dan intrik. Lazimnya, kisah cinta seperti ini ditonton dalam sinetron dengan aktor orang dewasa. 

Bukan dikisahkan anak seusia anak SMP, yang dalam kelaziman masih dalam tahap "cinta monyet". Saya cukup mengkhawatirkan anak-anak saya yang senang dengan sinetron ini. Mereka akan menilai kisah cinta yang mereka tonton adalah sesuatu yang wajar dan biasa saja bagi anak seusia mereka.

Sinetron "Dari Jendela SMP" mengisahkan cerita cinta anak SMP antara Joko dan Wulan. Joko adalah anak tampan dan pintar, tapi berasal dari keluarga miskin. Wulan berasal dari keluarga kaya, pintar dan cantik. Keduanya satu sekolah dan saling suka "pancaran". 

Seperti lazimnya cerita sinetron lain, awal kisah cinta keduanya diawali sebuah insiden pertengkaran. Dua anak berlainan jenis saling tertarik dan menyatakan cinta. Mereka menjadi sepasang kekasih yang saling memperhatikan. Dari kisah ini, masih wajar.

Tetapi episode-episode berikutnya, kisah cinta mereka mulai rumit dan dramatis. Dimulai ketika Wulan mengira dirinya hamil dan Joko siap bertanggung jawab dengan menikahi Wulan. Keduanya sepakat untuk menikah. Melalui dukungan keluarga Joko, mereka menggelar pernikahan di rumah Joko. 

Tapi rupanya, keluarga Wulan yang kaya itu menolak dan membatalkan ijab kabul. Bapak Wulan melapor ke Polisi dan Joko dipenjarakan. Bapak Wulan yang menolak pernikahan itu, cenderung diperan antagoniskan. Orang menontonnya, akan mengira dia bapak yang jahat dan lebih mendukung kisah cinta Joko-Wulan ini.

Dalam rangkaian cerita, banyak peristiwa yang sangat rumit dan kompleks. Saya yang tua, merasakan itu. Bagaimana mana dengan anak saya yang remaja? 

Sejauh ini, mereka senang saja. Tetapi sebagai orang tua, saya sangat khawatir. Mereka tidak akan mampu mencerna drama-drama yang dipertontonkan itu. 

Mereka tengah diajarkan bagaimana "pacaran" yang setia. Benar-benar setia dan serius, layaknya pacaran orang dewasa. Joko muncul sebagai laki-laki bertanggung jawab dan memperjuangkan cintanya. Wulan menjadi wanita setia dengan cintanya. Kisah cinta Joko-Wulan akan menuai emosi dan empati penontonnya.

Andai sinetron  "Dari Jendela SMP" tidak menyasar orang dewasa, tidak apa-apa. Kisahnya dapat dimengerti dan dipahami sebagai bumbu-bumbu sinetron. Tetapi anak seusia anak SMP, saya mengkhawatirkan, tontonan seperti ini akan membuat anak kita bermental buah karbitan. Kelihatan matang di luar, tapi di dalamnya masih mentah. Karena mereka disuguhkan pengalaman-pengalaman melalui sinetron yang melampaui batas mental mereka.

                                                                                                          ****************

Secara psikologis, usia remaja adalah masa dimana mereka suka mencontoh apa yang dilihat dan mencoba-coba yang dilihatnya. Teori ini dikenal para psikolog, sebagai teori imitasi (meniru). Albert Bandura, ilmuan yang mendalami teori ini mengemukakan bahwa seorang individu cenderung belajar dengan cara meniru perilaku orang lain yang dilihatnya. 

Anak menonton sinetron
Anak menonton sinetron

Dalam faktanya, kebenaran teori ini seringkali dijumpai pada anak-anak, termasuk remaja yang ada disekitar kita. Mereka akan meniru perilaku orang-orang yang disenanginya. Adagium populernya adalah "What they see is what they do".

Salah satu riset yang dilakukan American Psychological Association (APA) tahun 1995 menyebutkan bahwa tayangan televisi yang tidak bermutu akan mendorong seorang anak yang menontonnya berbuat buruk seperti yang disaksikannya. Hasil riset ini membuktikan kekhawatiran kami selaku orang tua cukup beralasan. 

Sinetron remaja dengan kisah-kisah yang buruk akan berdampak buruk bagi perkembangan kepribadiaan anak-anak. Sejatinya, televisi adalah media edukasi bagi anak bangsa. Suguhkanlah anak-anak kita tontonan yang bermutu, berwawasan, inspiratif, mencerahkan dan mencerdaskan.

Bagi generasi milenial hari ini, figur-figur imitasi mereka banyak ditemukan melalui media-media digital. Termasuk yang ditonton melalui sinetron yang ditayangkan diberbagai media digital, seperti televisi, youtube, facebook, instagram, dll., yang menyuguhkan banyak tontonan menarik. 

Tentu saja, kita tidak mungkin menjauhkan anak-anak milenial dari ragam digital. Tidak mungkin kita melarang mereka menonton televisi, menonton youtube atau menjauhkan mereka dari gadget. Mereka hidup di era digitalisasi. Mereka harus tumbuh kembang dan sukses sesuai karakter zamannya.

Tetapi jangan biarkan perangkat digital itu bebas nilai. Kemanfaatan digital harus demi kemanusiaan. Konten-konten digital harus mengokohkan nilai-nilai kemanusiaan yang berketuhanan dan berprikemanusiaan. 

Jangan biarkan, konten digital mengangkangi hak azasi manusia, jauh dari silaturrahmi, gotong royong, empati, dan akhlak-akhlak mulia lainnya. Hal-hal demikian ini yang harus menjadi prinsip dasar bagi media mainstrem, seperti televisi dalam menyuguhkan tayangannya.

"Hai para awak media yang berkerja dibalik layar televisi...!!! berpihaklah pada anak-anak kami. Sungguh televisi-mu kadang bermuka dua bagi mereka. Terkadang bermuka cantik dengan tayangan pencerah, tetapi seringkali menampilkan wajah buruk dengan cerita-cerita menyesatkan jalan bagi mereka".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun