Membaca dan memahami episode 411 dan 212 entah ditunggangi atau tidak ditunggangi itu sangat mudah walau dengan nalar sederhana. Ini bukan soal agama, apalagi sekedar soal Ahok calon Gubernur DKI yang jelas-jelas sudah mencolok tingkat keberhasilan kepemimpinannya di ibukota negara itu.
Kalau Sudah Duduk Lupa Berdiri
Tentu tagline pabrik mebel terkenal tentang kursi produk mereka itu masih segar di ingatan kita. Jika kemapanan sudah dinikmati puluhan tahun, siapa yang mau diusik?
Bangsa ini kaya sumberdaya alam, kaya sumberdaya manusia dalam hal kuantitas namun tidak dalam hal kualitas. Dua hal ini makanan empuk buat bangsa miskin sumberdaya alam namun kaya sumberdaya manusia berkualitas. Jika Bung Karno punya istilah neokolonialisme, seperti hari inilah wujudnya bagi bangsa Indonesia.
Tidak pernah terjadi dalam sejarah dunia di mana pun sampai detik ini, nasib sebuah bangsa ditentukan dalam sebuah proses pengaplingan rejeki oleh para pemimpin negara adikuasa, para bankir kelas kakap, para taipan korporasi trans-nasional, para ahli ekonomi dan keuangan, dalam satu meja perundingan, kecuali bagi Indonesia pada tahun 1967 di sebuah kota kecil di Swiss.
Sejak saat itu bangsa ini dininabobokkan dengan PMA, penguasaan pihak asing atas SDA dan pasar Indonesia, dan iming-iming pertumbuhan ekonomi, dan tentu saja pembangunan! Inilah bentuk baru penjajahan yang disebut Soekarno sebagai neokolonialisme.
Neokolonialisme Total
Janji pertumbuhan, janji kemakmuran, janji pembangunan memang terpenuhi. Masyarakat menjadi nyaman dalam kehidupan mapannya. PNS menjadi terbiasa dengan pola kerja berbasis proyek karena mereka mendapat uang di luar gaji. Kalangan swasta senang karena ada ribuan proyek yang bisa mereka kerjakan mulai dari fisik sampai non-fisik. Perguruan-perguruan tinggi pun bahagia, karena para dosen mereka menjadi konsultan di berbagai proyek. Para pemilik duit lokal pun gembira, karena bisa patungan dengan para taipan trans-nasional dengan pasar yang tersedia di depan hidung berjumlah ratusan juta nyawa. Mereka patungan mulai dari urusan jajanan sampai industri berat, dari sepatu sampai baju. Para beking entah bersifat oknum atau struktural tak resmi yang pegang senjata menjadi hepi, karena tersedia ribuan industri dan bisnis yang harus diamankan. Dan itu tentu tidak gratis!
Belum cukup di situ, kehidupan sosbud pun dibentuk untuk mendukung neokolonialisme tersebut. Gaya hidup, trend, dan segala pernak-pernik kehidupan keseharian dikiblatkan ke gaya hidup para kolonialis. Bahkan untuk makan ayam goreng, es krim, atau minum kopi pun, branding kehebatannya adalah jika bangsa ini menikmati produk para neokolonialis! Bayangkan, betapa masifnya penjajahan yang yang secara total dilakukan.
Klas Menengah Atas Makmur
Terciptalah klas menengah dan atas yang makmur. Mereka jadi tulangpunggung denyut kehidupan bangsa ini. Mereka menjadi simbol sukses bangsa Indonesia: makmur, parlente, berkuasa. Maka dibangunlah citra kesuksesan yang demikian, lengkap dengan gaya hidup seperti dalam paragraf sebelum ini. Dan semua orang berlari-lari mengejar mencapainya, apa pun caranya.
Kondisi itu tentu saja ditopang oleh sistem yang kolutif. Karenanya permainan kotor di segala bidang menjadi kebiasaan di negeri ini. Suap-menyuap, korupsi, kongkalingkong, adalah makanan sehari-hari. Sebab tanpa sistem itu, jelas pola menyambut para neokolonialis tidak bisa berjalan karena tidak sesuai dengan ideologi bangsa yang menjunjung tinggi kemandirian, kemakmuran bersama dalam sistem sosialisme, yang nyata-nyata dieksplisitkan dalam UUD dan Pancasila.
Mandiri Harus Dibasmi
Maka siapa pun pemimpin Indonesia yang memiliki semangat kemandirian, ia harus dibasmi. Para neokolonialis akan bahu membahu dengan elemen lokal yang sudah mapan menikmati kemakmuran, untuk melakukan pembasmian. Korban pertama setelah Soekarno adalah bahkan Soeharto yang pada periode awal berkuasanya justru menjadi arsitek utama yang membuat kita menjadi bangsa yang terjajah paham neokolonialisme. Namun sejak pertengahan 1980an, Soeharto mulai menampakkan upaya memandirikan Indonesia di berbagai bidang dimotori oleh perkembangan iptek. Dia mengandalkan BJ Habibie.
Para neokolonialis yang menguasai Indonesia waswas jika Soeharto membawa Indonesia kembali ke masa Soekarno dengan semangat berdikari-nya. Maka dia mulai digerogoti sejak akhir 1980an. Puncak penggulingan Soeharto itu terjadi 1998.
Apa Hasil Reformasi?
Pasca 1998 kita tidak melihat ada gerakan signifikan yang membawa bangsa Indonesia menuju ke kemandiriannya. Dunia maju senang, merasa aman. Sampai pada 2014 ketika Prabowo yang ultra-nasionalis dan Jokowi yang cenderung pragmatis-nasionalis, head-to-head bertarung. Bagi para neokolonialis, keduanya sama buruknya. Namun mereka harus rela bangsa Indonesia akan memilih salahsatu dari mereka. Katakanlah bagi mereka pilihannya the best among the worst. Lalu Jokowi terpilih.
Di balik tingkat kepercayaan investor asing di era Jokowi, para neokolonialis mulai waswas dengan sepak terjang Jokowi dan timnya yang menunjukkan gejala menjalankan upaya-upaya kemandirian. Rejim Jokowi dianggap lebih berpihak ke RRT dan beberapa negara Eropa yang bukan “sekutu tradisional” Indonesia selama ini sejak era Soeharto.
Era Jokowi juga dianggap sebagai rejim yang terlalu bersih, sulit diajak kompromi. Bidang kehutanan dan kelautan adalah contoh konkrit. Sebagai contoh, orang-orang Jokowi seperti Ahok, Susi Pudjiastuti, Ignasius Jonan, Ganjar Pranowo, atau Rismaharini, adalah mereka yang bisa jadi penghalang bagi permainan kotor yang selama ini dipraktikkan para neokolonialis bersama teman-teman bisnis lokalnya di Indonesia.
Jokowi Perlu Disingkirkan?
Namun sayang, Jokowi yang licin telah berhasil merapatkan barisannya dan mampu membuat TNI dan Polri solid berada di belakangnya. Apa boleh buat, tinggal kaum agamawan yang masih bisa diharapkan.
Beruntung bagi para kolonialis, di negeri ini ada Ahok yang mulutnya terlalu cepat ceplas-ceplos tanpa perhitungan politis. Dan dia menjadi sasaran empuk, karena bernasib minoritas ganda. Kemudian terjadilah 411 dan 212.
Dibungkam Namun Tetap Waspada
212 memang sudah dibungkam oleh kelicinan Jokowi dan kepiawaian Tito Karnavian dalam menjadi Bhayangkara negara dengan dukungan demonstratif yang ditunjukkan Gatot Nurmantyo. Kehadiran Jokowi di tengah massa 212 layaknya pukulan KO bagi lawan main politiknya.
Namun walau demikian, ratusan ribu manusia yang memutihkan Jakarta dalam 411 dan 212 adalah peringatan. Betapa negeri ini rentan dipecundangi dan ditunggangi para neokolonialis yang bekerjasama dengan kaki-tangan mereka di dalam negeri. Berbagai cara dan isu mereka pergunakan, termasuk isu agama yang jelas-jelas dalam kasus ini sangat irasional dijadikan kasus. Dan harus senantiasa diingat, para neokolonialis tidak akan tinggal diam menerima kekalahan telak dalam medan perang 212. Berbagai jurus lain pasti sedang dipersiapkan. Dan tentu akan tetap menjalankan metode yang sama: bekerjasama dengan para kolaborator dalam negeri Indonesia.
Mengapa itu dilakukan? Karena kue yang diperebutkan adalah taruhan hidup dan mati bisnis multi trilyunan dolar AS. Harus diingat, cikal bakal Freeport misalnya, sudah bangkrut saat mereka gagal mengeksploitasi tembaga dari Kuba. Beruntung mereka bertemu dengan East Borneo Corp menjelang 1967, yang kemudian meniti jalan ke Pegunungan Grassberg di Papua. Belum lagi kekayaan SDA lain serta pasar yang semakin berkembang!
Selamat menikmati dan menyaksikan goyangan-goyangan lain di hari-hari mendatang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H