DI DALAM FORD CUSTOMLINE B.958.A MENUJU PELABUHAN RAKYAT KALIBARU, CILINCING, Jakarta Utara, 1970
S.Sudjojono (SS101): Rin nggambar kuwi ra sah kakehan teori. Sing mbok delok nek seneng ya langsung gambaren. Ati, mripat, karo tangan aja padha goroh. (Rin menggambar itu itu tidak perlu kebanyakan teori. Jika kamu melihat obyek yang kamu sukai, langsung aja digambar. Hati, mata dan tangan jangan berbohong waktu melukis)
Abang Rahino (AR): Iya
SS101: Ning kowe ra sah dadi pelukis. Golek gawean liyane wae. Umpama gambarmu elek wong2 padha muni apik merga kowe anake Bapak. Kowe ujug2 dadi terkenal duwe jeneng tanpa nyambut gawe banter (Tapi kamu nggak usah jadi pelukis. Cari kerjaan lain saja. Karena jika gambarmu jelek orang2 akan bilang bagus karena kamu anak Bapak. Kamu mendadak terkenal punya nama tanpa kerja keras).
AR: Hmmm...
SS101: Nek wis dadi pelukis terkenal, kowe gawe ala sithik kabeh wong weruh. Kowe mung ngentut sak ndonya nyalahke kowe. Padahal wong liya sing luwih ala timbang kowe akeh. NIng ora konangan, merga wong2 kuwi ora duwe jeneng (Jika kamu sudah terkenal, kamu berbuat kesalahan kecil saja semua orang tahu. Andai kamu hanya kentut seluruh dunia menyalahkan kamu. Padahal banyak orang lain yang lebih parah daripada kamu tetapi tidak ketahuan. Karena mereka tidak dikenal)
SK: Oooo...Ning nuwun sewu Pak, Kompas-e diwaca maneh ora? (Ooo... Tapi maaf Pak, harian Kompas-nya dibaca lagi gak?)
SS101: Mengko wae nek mulih. Wis meh tekan. Tengen vrij? Menggok tengen, Nang (Nanti saat pulang saja, karena ini hampir sampai. Kanan kosong? Kita belok kanan, Nak)
SK: Wis ket mau koq ndhaplang tengen. Tengen vrij, Pak. Masuk, Pak. (Sudah dari tadi koq minta jalan kanan. Sekarang kanan kosong, masuk, Pak).
Itu percakapanku dengan maestro lukis Indonesia. Seorang maestro bicaranya ya biasa saja koq! Â Tidak muluk-muluk sebagaimana biasa digambarkan secara hiperbole oleh para Pengamat dan Pengamatnya Pengamat senirupa Indonesia. Lain waktu saya critai ya bahwa keluarga maestro lukis Indonesia juga sering kehabisan uang tinggal Rp 25.Â
Nah ternyata petuah Ayah saya  tadi benar terjadi. Setahun kemudian, pada suatu hari Senin di hari pertama ujian nasional SMP, saya dipanggil ke kantor Kepala Sekolah untuk ikut lomba menggambar nasional yang diselengarakan Kedubes Jepang.Â
Ibu Lidya Setyadi, sang Kepsek: Abang, kamu ikut lomba nggambar ya. Hari Kamis gambarmu dikumpulkan.Â
SK: Lho Bu, ujian bagaimana?
Bu Lidya (sambil tersenyum mengirim ancaman killer-nya): Ah kamu kan pinter nggambar. Lakukan saja sebisamu.
Pening juga kepalaku! Tetapi tugas lomba nggambar itu yang jelas terlupakan sampai hari Rabu saya diingatkan Bu Kepsek. Â Matih aku, belum nggambar je! Malamnya setelah belajar secepat kilat bikin skets gambar cepet2an berkhayal situasi pelabuhan rakyat Kalibaru yang sering kukunjungi bersama Bapak, lalu sregusreg-usreg nggambar asal2an pakai cat air. Lukisan itu elek, jelek. Saat dipamerkan di TIM lukisan peserta lain uapik2 tenan, saya punya termasuk paling jelek.
Lhadalah koq menang juara satu. Pasti kemenangan itu diraih karena alamat rumah yang harus ditulis di belakang gambarku mengacu ke sanggar Bapak. Karena alamat rumah kami di Desa Pejaten, Pasarminggu memang demikian. Mana ada nomer rumah di perdesaan Pasarminggu nan udik itu, jadi harus disebut nama rumah dan Km jalan itu. Jadilah alamat rumah kami adalah Sanggar Pandanwangi, Pasarminggu Km 18,2, Jakarta Selatan. Pelukis mana di jaman itu yang tidak tahu Sanggar Pandanwangi coba!? Â Padahal ketiga juri lomba itu murid Bapak semua. Habis sudah, saya terpaksa jadi juara pertama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H