Mohon tunggu...
Abang Rahino S.
Abang Rahino S. Mohon Tunggu... Freelancer - Pembuat film dokumenter dan penulis artikel features

A documentary film maker & feature writer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Budaya, Akuntabilitas, dan Tipikor

6 September 2016   08:45 Diperbarui: 6 September 2016   08:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kompas hari ini (06/09/16) menulis berita soal bermasalahnya politik dinasti di berbagai Pemda di Indonesia, terkait tindak pidana korupsi atau tipikor. Menjadi pertanyaan kunci adalah apakah memang benar politik dinasti yang salah atau ada hal lain yang menjadi biang kerok maraknya tipikor di tengah bangsa kita?

Mari kita singkap secara praktis dan dengan jujur sikap kita terhadap berbagai hal berikut ini:

1. Kebiasaan mengajak damai petugas Polantas dalam kasus pelanggaran lantas darat daripada mengikuti Sidang Tilang

2. Sumbangan sukarela di RT, RW, dan atau Kelurahan untuk pengurusan dokumen administratif

3. Permintaan sumbangan di jalan-jalan untuk pembangunan rumah ibadah

4. Kegiatan mahasiswa mengumpulkan sumbangan dengan kotak karton yang biasanya dalam rangka merespon berbagai bencana kemanusiaan

5. Kegiatan rutin tahunan Komite Sekolah meminta sumbangan dari orangtua murid baru

6. Kebiasaan menitipkan seseorang kepada petugas penguji dalam ujian permohonan SIM atau dalam tes penerimaan pegawai

7. Kebiasaan pemberian hadiah sebagai ucapan terimakasih karena kerabat sudah diterima bekerja, biasanya di kalangan instansi pemerintah

Apakah kegiatan No. 2 - 5 pernah diikuti dengan Laporan Pertanggungjawaban pelaksana kegiatan? Padahal laporan pertanggungjawaban adalah bagian dari transparansi yang mensyaratkan akuntabilitas. Jika sejak mahasiswa saja sudah terlatih tidak akuntabel, bagaimana bangsa ini bisa berharap kelak akan menjadi bangsa yang mampu bertanggungjawab dalam segala hal?

Kemudian kebiasaan No.7 oleh bangsa ini disikapi sebagai sikap wajar. Itu adalah turunan dari budaya upeti sejak kelahiran klan, puak, dan kemudian tumbuh menjadi kerajaan-kerajaan tradisional di seluruh Nusantara. Upeti bisa bermacam-macam wujudnya mulai dari uang, hasil bumi, benda2 berharga, dan kerabat perempuan entah sebagai penari yang bispak, selir atau jika "beruntung" jadi istri. Lalu berkembanglah sebuah ajaran: bukankah kita harus dan wajib berterimakasih kepada siapa pun yang telah menolong kita? 

Dalam batas-batas tertentu budaya itu betul. Tetapi ucapan terimaksih demikian tidak etis dan tidak elok jika dikaitkan dengan diterimanya seseorang di pekerjaan. Seleksi penerimaan pekerja seharusnya dilakukan secara profesional. Dalam seleksi profesional semacam ini, satu-satunya pihak yang layak diucapi terimakasih dalam konteks ini adalah sistem rekrutmen yang profesional, transparan, dan bersih dari praktik KKN. Bukan Kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah), bukan Kepala DInas, bukan Menteri PAN dan RB yang diucapi terimakasih dan diberi hadiah barang dan uang. Bukan orang, tetapi sistem yang profesional-lah yang harus diucapi terimakasih.

JIka bangsa Indonesia mengimpikan berkurangna kasus tipikor di negeri ini, bangsa ini memang harus menjalankan revolusi budaya, bukan sekedar revolusi mental. Apalagi jika revolusi mental dilahirkan sekedar jargon politik di masa kampanye pilpres. Karena fakta saat ini membuktikan pemerintah sedang mengusulkan dihapuskannya hukuman kurungan bagi koruptor sebagaimana diwacananakan oleh Luhut Panjaitan belum lama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun