Mohon tunggu...
Bang Hafidz
Bang Hafidz Mohon Tunggu... profesional -

Pria yang suka disapa dengan sebutan "Abang" ini, terlibat aktif dalam pengujian beberapa undang-undang sejak tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi, diantaranya UU Kepailitan dan PKPU, UU Ketenagakerjaan, UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Anggaran Pengeluaran Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 dan terakhir UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Selain itu, juga turut menjadi tim perumus naskah permohonan dalam pengujian UU Partai Politik, UU Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, UU Ketenagalistrikan dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perkuat Posisi Buruh, karena Bangsa Ini Hidup dalam Keringat Buruh

17 Mei 2013   07:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:27 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyelenggaraan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, merupakan tugas pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan propinsi dan pemerintahan pusat, yang wewenangnya diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan pengaturan wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, diatur dalam UU Pengawasan Perburuhan yang dibuat pada tahun 1948 dan diundangkan pada tahun 1951, sedangkan ketentuan materiil undang-undang ketenagakerjaan sebagai UU yang mengatur tentang hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja telah 2 (dua) kali diubah yaitu pada tahun 1997 dan pada tahun 2003, namun UU Pengawasan Perburuhan tidak mengalami perubahan, sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional pekerja/buruh atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, karena UU Pengawasan Perburuhan tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, sebagai salah satu bentuk penyesuaian terhadap perubahan kondisi yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan ketenagakerjaan dengan dimulainya era reformasi. UU Pengawasan Perburuhan No. 23 Tahun 1948, merupakan undang-undang yang menjadi dasar Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, untuk menjalankan kewenangannya menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku oleh pemberi kerja dan pekerja/buruh serta pemerintah itu sendiri. Sehingga, pelaku hubungan kerja bukan hanya pekerja/buruh dan pemberi kerja, tetapi juga pemerintah yang berperan melakukan pengawasan terhadap penerapan pelaksanaan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan. Fakta bahwa, pergantian kepala pemerintahan, senyatanya tidak merubah nasib pekerja/buruh, yaitu ketidakpastian pekerjaan, mudahnya pemutusan hubungan kerja, proses penyelesaian perburuhan yang tidak menguntungkan pekerja/buruh, pengebirian kekuatan serikat pekerja/serikat buruh, jaminan perlindungan hukum yang setengah hati, mengabaikan pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Sebelum UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan diundangkan pada tahun 2003, syarat-syarat hubungan kerja dan hak serta kewajiban pekerja/buruh dan pemberi kerja diatur oleh Undang undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12. Alasan pergantian UU Kerja yang diundangkan pada tahun 1951, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dan dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998, sehingga oleh karena UU Kerja sebagai hukum materiil dalam hukum perburuhan telah dicabut dan disempurnakan oleh UU Ketenagakerjaan pada tahun 2003, maka seyogyanya pula, UU Pengawasan Perburuhan sebagai UU yang menjadi dasar dan jaminan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan juga perlu diperbaiki guna memperkuat landasan hukum kewenangan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, untuk menjalankan kewenangannya menjamin pelaksanaan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan. Untuk memastikan hak setiap pekerja/buruh dalam mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, pemerintah membentuk Pegawai Pengawas Perburuhan (sekarang: Ketenagakerjaan) sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pengawasan Perburuhan dan UU Ketenagakerjaan yang berada di instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat. Fakta, bahwa sedikitnya lapangan kerja dan semakin banyaknya angkatan kerja, membuat kedudukan pekerja/buruh relatif lebih lemah, ketimbang posisi pemberi kerja yang dapat menolak pekerja/buruh untuk bekerja di perusahaannya. Kondisi ini mengakibatkan timpangnya daya tawar pekerja/buruh terhadap pemberi kerja, sehingga banyak pekerja/buruh yang menerima penyimpangan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pemberi kerja, karena takut kehilangan pekerjaan. Disitulah peran pemerintah yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan kedudukan pekerja/buruh yang timpang dengan kedudukan pemberi kerja, sehingga diharapkan jaminan dan perlindungan serta kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan menjadi efektif. Namun faktanya, setelah berlakunya UU Ketenagakerjaan sebagai hukum materiil dari hukum perburuhan yang mengatur mengenai syarat-syarat hubungan kerja, terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan oleh pemberi kerja diantaranya penyimpangan terhadap penerapan sistem kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu), sistem kerja outsourcing (penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain), tidak dipenuhinya hak-hak pekerja anak dan hak-hak pekerja perempuan, penyimpangan waktu kerja tanpa upah lembur atau dengan upah lembur yang tidak sesuai, dilanggarnya hak istirahat pekerja dan kesempatan untuk menjalankan ibadah, penyimpangan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja pekerja, pemberian upah dibawah upah minimum dan tunjangan hari raya, serta hak-hak normatif pekerja/buruh lainnya, sebagaimana yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Faktanya, pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, yang kewenangannya diatur oleh UU Pengawasan Perburuhan, yang diharapkan dapat memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja, selalu beralasan kekurangan personil pegawai pengawas dan benturan dengan otonomi daerah, sehingga tidak dapat berperan maksimal dalam menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, yang berakibat pada menjamurnya praktek-praktek penyimpangan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pemberi kerja, sehingga tidak terjamin dan tidak terlindunginya kepastian hukum bagi pekerja/buruh. Segala penyimpangan dalam UU Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja mempunyai sanksi pidana, yang menjadi kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Namun, seringkali laporan-laporan dan pengaduan-pengaduan pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana, menjadi tidak tuntas dan pemberi kerja yang diduga melakukan tindak pidana dapat lepas dari ancaman sanksi dalam UU Ketenagakerjaan, dengan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang melaporkannya, akibat tidak diatur waktu lamanya proses pemeriksaan yang dapat memakan waktu bertahun-tahun seperti yang terjadi di PT. Iwata Indonesia dalam kasus outsourcing dan kontrak yang dilaporkan ke Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bogor pada tanggal 28 Nopember 2005, dan baru pada tanggal 01 Juni 2011 dikeluarkan Penetapan oleh Dinsosnakertrans Kab. Bogor No. 566/3284/Wasnaker/2011, lalu pekerja/buruhnya sebanyak 98 orang di-PHK oleh pemberi kerja per tanggal 1 Juli 2011, karena menuntut dihapuskannya sistem kerja kontrak dan outsourcing. Meskipun terdapat sanksi pidana dalam UU Ketenagakerjaan, namun demikian, banyak pemberi kerja yang tetap dengan sengaja maupun tidak sengaja melakukan penyimpangan penerapan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku. Hal demikian, karena fungsi pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak maksimal dan pemerintah tidak serius dalam menangani upaya pencegahan penyimpangan penerapan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan. Hal demikian dapat dibuktikan dengan lahirmya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang diundangkan 1 (satu) tahun setelah UU Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja, sehingga pemerintah terkesan lebih mementingkan urusan penyelesaian perselisihan yang berawal dari adanya penyimpangan penerapan ketentuan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pemberi kerja, daripada menyempurnakan UU Pengawasan Perburuhan. Dengan mempertimbangkan kondisi gerakan pekerja/buruh yang semakin massif dan berpotensi dapat mengganggu iklim investasi, maka peran Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dituntut lebih maksimal dalam menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan di dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga dibutuhkan penyempurnaan materi dalam UU Pengawasan Perburuhan oleh pembentuk undang-undang dalam rangka proses legislative review dengan memberikan waktu yangcukup bagi pembuat undang-undang untuk melakukan perbaikan guna memperkuat landasan kewenangan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dalam UU Pengawasan Perburuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun