[caption id="attachment_268395" align="aligncenter" width="546" caption="Pekerja membersihkan papan harga bahan bakar minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) 34-15319 di kawasan Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (20/3/2013). Meskipun belum diputuskan, kemungkinan pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi khususnya untuk mobil pribadi senilai Rp 6.500 per liter. Langkah tersebut ditempuh guna mengerem pembengkakan subsidi./Admin (KOMPAS/PRIYOMBODO)"][/caption] Pada 14 Mei 2013 lalu, Pemerintahan SBY-Boed mengajukan perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013 ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas hari ini (17/6) dalam Rapat Paripurna DPR. Rencana Pemerintahan SBY-Boed yang satu ini menjadi perhatian banyak kalangan, karena substansinya terkait dengan hajat hidup orang banyak dan sangat berpengaruh terhadap seluruh harga kebutuhan pokok yaitu pengurangan subsidi BBM yang semula telah ditetapkan sebesar Rp. 193,8 Triliun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU APBN 2013, yang pengurangan tersebut dapat dipastikan berakibat pada naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang rencananya jenis Premium dari Rp. 4.500,- menjadi Rp. 6.500,- per liter dan Solar menjadi Rp. 5.500,- per liter. Pemerintahan SBY-Boed beralasan karena harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dari US$100 per barel menjadi US$110/108 per barel, serta nilai tukar rupiah yang terus melemah dari Rp. 9.300,- per dolar menjadi Rp. 9.825,- per dolar. Usut punya usut, ternyata akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah sesungguhnya menyebabkan membesarnya bayaran cicilan bunga dan utang luar negeri Tahun 2013 yang menjadi 224,9 Triliun dari yang semula 161,4 Triliun, atau membengkak sekitar 64 Triliun yang tidak dapat ditutupi oleh Sisa Anggaran Lebih (SAL) Tahun 2012 yang hanya sebesar 56,1 Triliun. Sehingga, hal yang paling mudah dilakukan adalah dengan menaikkan harga BBM untuk mendapatkan uang tunai guna membayar utang luar negeri. Lalu darimana anggaran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) selama 5 bulan yang akan diberikan Pemerintahan SBY-Boed sebesar 30,1 Triliun, yang diiklankan sebagai dana kompensasi atas kenaikan BBM? Menurut Pemerintahan SBY-Boed, anggaran tersebut diambil dari realokasi penyesuaian subsidi BBM. Padahal berkali-kali Pemerintahan SBY-Boed menyatakan dengan menaikkan harga BBM, hanya menghemat hingga 22 Triliun. Oleh karenanya, masih terdapat selisih jika kekurangan cicilan bunga dan utang luar negeri serta realokasi penyesuaian BBM sejumlah 16 Triliun. Untuk menutup selisih tersebut, ternyata dipenuhi dari pinjaman Asian Development Bank (ADB) senilai 2 Miliar dolar atau setara dengan 18 Triliun rupiah. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM tidak perlu dilakukan, jika Pemerintahan SBY-Boed tidak menurunkan target penerimaan pajak senilai 53,6 Triliun sebagai tindakan memanjakan konglomerat, serta membebankan para pejabat untuk membayar sendiri pembelian BBM mobil dinas, yang jangan lagi dibebankan kepada APBN yang dibiayai oleh rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H